Warga Manulai I Tersiksa Asap Insinerator

  • Whatsapp
Insinerator/Foto: Jemi

Kupang – Sejumlah warga RT 3 RW 3, Kelurahan Manulai 1, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang mengaku tersiksa dengan asap yang diduga bersumber dari mesin pembakar limbah padat medis atau insinerator. Pasalnya, jarak antara permukiman penduduk dengan mesin insinerator hanya sekitar 50 meter.

Di antaranya dialami oleh Mateos Sukka bersama istrinya. Dia mengatakan, kepulan asap dari cerobong insinerator menjalar ke mana-mana hingga wilayah permukiman, bahkan masuk ke dalam rumah warga.

Asap yang dihirup warga, membuat mereka batuk-batuk. Tidak itu saja, serbuk hitam yang terbawa asap menempel di perabot rumah hingga sumur air minum. “Kalau mereka bakar, asap tebal masuk sampai dalam rumah, kami sampai batuk-batuk, barang dalam rumah juga bau obat karena kena asap,” katanya.

Seorang lansia bernama Anus Feo yang juga tetangga Mateos Sukka, sampai saat ini masih sakit batuk, diduga dampak dari menghirup asap dari insinerator tersebut.

Menurut Matheos, warga setempat pernah bersitegang dengan petugas insinerator saat pembakaran sampah medis pada Desember 2022. Ketika itu, tambahnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTT, Ondi Siagian bersama seorang anggota DPRD menemui warga.

Dalam pertemuan itu, sebut Dia, .Kadis LHK Ondi menyebutkan persolan itu menjadi perhatian pemerintah. Hanya saja, sampai saat ini belum ada penangan dari pemerintah, alias janji yang disampaikan itu belum ditepati.

Akibat berlarut-larutnya penanganan asap dari insinerator, warga setempat mulai was-was jika ada aktivitas pembakaran limbah medis. Limbah medis dibakar berasal dari sejumlah fasilitas layanan kesehatan di Kota Kupang.

Menurutnya, insinerator mulai beroperasi pada 2020, kemudian Desember 2022, aktivitas pembakaran limbah medis terhenti. “Petugas hanya datang beberapa saat kemudian pulang,” kata Mateos.

Informasi yang diperoleh media ini, pemberhentian aktivitas pembakaran limbah karena keluhan dari warga. Informasi lain dari warga menyebutkan, UPT LB3 (Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya) sebagai unit teknis dari DLHK provinsi NTT yang mengelola insineraror itu, tak berani beroperasi karena belum ada izin lingkungan dan AMDAL dari pemerintah.

Adapun pembakaran limbah medis yang berlangsung sekitar dua tahun lebih di Manulai I, hanya didasarkan pada surat edaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengingat saat pandemi covid-19 banyak sampah medis menumpuk di fasilitas pelayanan kesehatan.

“Waktu covid, insinerator beroperasi pakai dasar surat edaran menteri selama pandemi saja, tapi setelah endemi, otomatir insinerator dicabut, stop operasional karena izin lingkungan tidak ada,” kata sumber yang menolak namanya dirahasiakan.

Salmon Milla, kepala UPT LB3 yang ditemui di kantornya mengakui bahwa izin lingkungan dan AMDAL untuk bangunan innsinerator tidak ada, tetapi difungsikan untuk membakar limbah medis saat covid-19.

Kepala UPT LB3, Samson Milla

“Kemarin itu difungsikan karena ada edaran menteri lingkungan hidup terkait kondisi pandemi covid. Setelah covid tak ada pembakaran lagi, terakhir bakar itu sekitar Maret, itu sampah dari beberapa fasyankes, “katanya.

Informasi dari sumber dalam lingkungan DLHK NTT, menyebutkan, anggaran untuk pembuatan ijin lingkungan dan AMDAL itu sudah dialokasikan pada 2019 lalu sebesar Rp1,2 miliar.

Selanjutnya, dialokasikan lagi Rp150 juta pada tahun berikutnya, dokumen itu belum ada, sedangkan bangunan sudah difungsikan. Disampaikan pembuatan izin lingkungan dengan AMDAL bekerjasama dengan salah satu kampus di Kupang. Kadis DLHK NTT, Ondi Siagian tidak berada di tempat ketika hendak dikonfirmasi di kantornya, Kamis (27/7) siang. Nomor handphone-nya tidak aktif saat dihubungi. (Jmb)

Editor: Gamaliel

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *