Kupang–Deputy Direkturr Program Pesisir dan Laut The Nature Conservancy (TNC) Indonesia Imran Amin mengatakan ada lima ancaman terbesar bagi kelestarian penyu di Indonesia, salah satunya predasi.
“Dari beberapa survei di Rote dan Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), kami melihat binatang ternak seperti babi, peliharaan seperti anjing, dan liar seperti monyet merupakan ancaman bagi telur penyu, begitu juga predasi oleh manusia,” ujarnya, Kamis (12/1).
Dia mengatakan beberapa komunitas masyarakat pesisir di NTT masih memanfaatkan kerapas (cangkang) untuk aksesoris dan daging serta telur untuk konsumsi. Padahal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah menetapkan enam spesies penyu di Indoneisa sebagai hewan yang dilindungi.
Enam penyu itu ialah penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, penyu tempayan, penyu belimbing, dan penyu pipih. Sejak masa lampau, enam penyu ini telah menjadi bagian dari keragaman fauna nusantara.
Menurutnya penyu juga menjaga kesehatan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, karena itu penyu sangat penting bagi keseimbangan ekosistem laut Indonesia.
Ancaman lainnya ialah aktivitas penambangan pasir yang tidak teregulasi. Pemanfaatan pasir secara berlebihan menyebabkan erosi pantai, sehingga hanya batu dan kerikil
saja yang tersisa di pantai. “Kondisi ini tidak memungkinkan untuk penyu mendarat dan bertelur lagi,” kata Imran.
Selain itu, maraknya pembangunan di kawasan pesisir sehingga berdampak terhadap pemakaian ruang laut untuk
pembangunan dan budidaya rumput laut, penyu kehilangan tempat untuk bertelur.
Dia mengatkaan keberadaan sampah seperti sampah berbahan plastik juga turut mengancam kelestarian penyu. “Kematian akibat konsumsi dan terbelit sampah plastik telah menjadi isu dunia, termasuk di Indonesia. Jumlah pasti kematian akibat sampah plastik belum diketahui secara pasti, namun semakin banyaknya bukti yang ditemukan menguatkan hipotesa bahwa sampah plastik merupakan salah satu ancaman utama bagi penyu,” kata Dia.
Adapun praktik konservasi yang tidak tepat seperti pemindahan telur dari sarang ke tempat penangkaran akan mengubah kondisi suhu yang dibutuhkan telur untuk menetas dengan baik. Begitu pula lama penangkaran, waktu pelepasan, jumlah tukik yang dilepaskan, lokasi dan rutinitas pelepasan juga berpengaruh kepada kemungkinan keselamatan penyu.
“Kami melihat praktik penangkaran sebagai upaya konservasi paling akhir yang dapat dilakukan. Prioritas kami dalam upaya konservasi penyu adalah menjaga habitat aslinya sealami mungkin,” kata Imran.
Penyu memerlukan banyak tipe habitat selama hidupnya. Sementara tingkat kelangsungan hidup tukik yang sangat rendah atau sekitar 0.01 %, penyu juga memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai kematangan reproduksi antara 15-40 tahun.
Menurut Imran, dibutuhkan waktu puluhan tahun bagi penyu untuk dapat meningkatkan ukuran populasi mereka. “Populasi penyu terus terancam. Sudah saatnya kita bertindak untuk menjaga kelestariannya dengan menjaga ekosistem laut dan pesisir nusantara,” ujarnya. (*/gma)
Kupang - Proyek Penanganan Longsor di Kabupaten Malaka senilai Rp 20 miliar melalui Pelaksanaan Jalan…
Labuan Bajo - Di tengah pesatnya perkembangan pariwisata dan permintaan energi listrik yang terus meningkat…
Jakarta - Gubernur NTT Terpilih, Melki Laka Lena, terus membangun sinergi untuk membangun NTT. Yang…
Lembata - PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra) menyalurkan bantuan program…
Denpasar - Jurnalis Kompas.com wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Sigiranus Marutho Bere, meraih juara satu…
Jakarta - Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo kembali dinobatkan sebagai CEO of The…