Oleh Fary Francis
Ketua Tim Ahli Fraksi Gerindra DPR RI, Mantan Ketua Komisi V DPR RI.
Pada tanggal 14 Pebruari 2020 yang lalu, Pemerintah telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR RI. Salah satu substansi dari RUU ini mengenai pengaturan satuan rumah susun (sarusun) untuk orang asing.
Pasal 136 RUU tersebut menyebutkan bahwa hak milik atas satuan rumah susun yang selanjutnya disebut hak milik sarusun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 137 ayat 1, hak milik sarusun dapat diberikan kepada warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia, warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, atau perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia.
Ayat 2 pasal tersebut menerangkan hak milik sarusun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. Ayat 3 menjelaskan hak milik sarusun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika RUU ini tidak dikritisi secara baik dan benar, lalu meloloskan pasal-pasal Sarusun ini, maka ancaman kedaulatan bangsa menjadi nyata. Mengapa? Karena orang asing memiliki payung hukum untuk memiliki dan menguasai rumah-rumah susun di tanah air. Mereka bukan lagi diberi hak pakai, tetapi hak milik.
Dengan potensi Indonesia yang luar biasa ini, orang-orang asing dari mana-mana akan berlomba-lomba memiliki Sarusun di Indonesia. Dalam kondisi semacam itu, kedaulatan bangsa dipertanyakan: apakah berpihak pada orang asing atau pada rakyat Indonesia sendiri yang nota bene dalam banyak hal masih butuh perhatian pemerintah termasuk dalam urusan pemenuhan kebutuhan papan.
Regulasi Saat Ini
Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang akan dibahas DPR, substansinya berbeda dalam banyak hal dari regulasi yang saat ini sedang berlaku. Aturan yang berlaku saat ini, orang asing dapat memiliki sarusun/sertifikat hak milik (SHM) di atas tanah hak pakai. UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun pada pasal 46 mengatur bahwa Hak kepemilikan atas sarusun -baca unit rumah susun- merupakan hak milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Pasal 47 dijelaskan sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun. SHM sarusun diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
Sementara PP No. 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia pasal 2 menjelakan Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai, pasal 4 b sarusun yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.
Hal ini juga sejalan dengan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, di mana dijelaskan orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai hak pakai atas tanah negara atau hak milik orang lain.
Artinya, pada regulasi Sarusun saat ini, ada pembatasan yang jelas bagi kepemilikan hunian oleh asing. Pertama, hunian dapat dimiliki di atas tanah hak pakai yang dikuasi negara atau hak milik selama 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun dan diperpanjang 30 tahun (total 80 tahun). Kedua, diberikan hanya kepada WNA yang berkedudukan di Indonesia, mereka yang memiliki izin tinggal di Indonesia (memiliki ITAS atau ITAP).
Ketiga, dapat diwariskan kepada ahli waris WNA yang memiliki ijin tinggal di Indonesia, jika tidak memiliki izin tinggal kepemilikan dikembalikan kepada negara atau pemegang hak milik. Keempat, dibatasi pada rumah tinggal atau rusun yang minimal memiliki harga berbeda-beda menurut daerah. Memperhatikan aturan yang berlaku saat ini terlihat dengan jelas bahwa pemerintah tidak memberikan hak kepemilikan tanah kepada asing tetapi hanya memberikan hak akses dengan jangka waktu maksimal 80 tahun, tidak dapat diperpanjang.
Jika regulasi saat ini disandingkan dengan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebagaimana sudah dijelaskan di awal tulisan ini, maka Nampak perbedaan-perbedaan yang substansial, yang merugikan kepentingan bangsa dan kedaulatan Indonesia.
Pertama, Omnibus Law tidak secara jelas memberikan batasan hak milik sarusun bagi asing hanya pada tanah dengan hak pakai.
Ada kesan omnibus law memberikan keleluasaan kepemilikan sarusun untuk asing bukan hanya di atas tanah hak pakai tetapi juga di atas tanah hak milik. Kedua, tidak ada pembatasan berapa lama penguasaan lahan, memberikan kejelasan tentang pergeseran filosofis pengaturan di mana omnibus law membuka kesempatan kepada WNA untuk memiliki hak atas lahan selamanya dan dapat diwariskan.
Ketiga, narasi WNA yang “memiliki izin”, tidak secara jelas menyebutkan izin tinggal atau berkedudukan di Indonesia memberikan kesan bahwa izin memiliki sarusun tidak mesti harus memiliki izin tinggal sebagaimana aturan sebelumnya.
Menganalisis Dampak.
Kebijakan omnibus law untuk membuka kepemilikan asing atas sarusun memiliki dampak positif terutama di bidang ekonomi antara lain dengan memperhatikan pontensi-potensi sebagai berikut :
Pertama; pasar potensial, dari tenaga kerja asing asing yang memiliki izin tinggal terbatas (ITAS) maupun izin tinggal tetap (ITAP) 150.000 orang. Jika juga menyasar turis asing maka pasarnya mencapai 10 juta. Semakin banyaknya pihak asing yang yang berminat kepada properti di Indonesia dapat meningkatkan permintaan properti sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan peningkatan serapan produk lokal. Dengan begitu diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kedua, meningkatkan pendapatan negara. Penerimaan pajak pemerintah pusat dan daerah yang didapat dari pengembang dan pembeli properti bisa meningkat. Ini juga bermanfaat untuk menghilangkan transaksi pembelian tanah oleh pihak asing yang menggunakan penduduk lokal sebagai perantara, sehingga pendapatan negara bisa meningkat. Fenomena pembeli asing dalam industri properti Indonesia sebenarnya bukan hal baru.
Di sejumlah daerah, seperti Bali, Batam, dan beberapa daerah di Jawa, banyak orang asing “mengakali” pembelian properti—tanah, rumah, dan apartemen. caranya dengan meminjam nama orang lain (nominee).
Ketiga, penambahan devisa. Seandainya pengembang Indonesia (termasuk BUMN) bisa menjual 500 ribu unit hunian dalam lima tahun, dengan harga rata-rata USD500.000 per unit, maka akan masuk devisa USD250 miliar, sekitar Rp3.400 triliun, ini sangat baik bagi perekonomian kita.
Meski demikian, omnibus law harus mampu menekan dampak negatif yang diperkirakan muncul diantaranya: Tanpa kebijakan mempermudah pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat, kebijakan terkesan terlau pro asing. Saat ini kebutuhan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah masih sangat sulit, backlog hunian saat ini mencapai 7,6 juta unit.
Kemudahan terhadap kepemilikan asing diberikan di tengah-tengah kesulitan masyarakat memperoleh hunian yang layak, ini memang memberikan kesan bahwa pemerintah lebih mendahulukan asing ketimbang warga negaranya. Karena itu, pemerintah perlu terlebih dahulu atau bersama-sama juga merubah regulasi yang memudahkan pemenuhan hunian bagi masyarakat tidak hanya bagi asing.
Misalnya pemerintah memberikan jaminan kepemilikan rumah bagi pekerja dengan subsidi pada daerah-daerah industri baru, atau meperbesar subsidi pembangunan MBR, dll.
Selain itu, tanpa pembatasan hak milik mengancam kadaulatan negara. Jika hak milik seumur hidup dibuka kepada asing secara besar-besaran dan luas, maka dikhawatirkan justru kepemilikan lahan di Indonesia malah lebih dominan dikuasi oleh asing, sehingga mengancam kedaulatan negara, karena itu pembatasan harus dilakukan. Tanah tidak dapat dimiliki oleh asing, tetapi dapat memiliki hak akses dengan pembatasan waktu yang menarik untuk dapat bersaing dengan pasar ASEAN.
Di sisi lain, harus ada pemberlakukan zonasi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan. Pembatasan juga dilakukan dengan memberlakukan zonasi, atau menentukan kawasan-kawasan tertentu yang boleh dimanfaatkan oleh asing untuk mendorong perimbangan pertumbuhan wilayah.
Zona yang secara alami cepat tumbuh dibatasi luasannya, tetapi wilayah-wilayah yang lambat pertumbuhannya dapat diberikan zonasi yang lebih luas dengan insentif-insentif lain untuk mendorong property asing masuk ke wilayah ini, tentu saja kebutuhan infrastruktur dasar harus sudah terpenuhi, terutama aksesibilitas. Instrument ini dapat menggantikan instrument harga property sebagai pembatas, instrument harga property dalam perspektif teori lokasi selalu menunjuk pada daerah-daerah yang memiliki nilai lahan tinggi, daerah-daerah “primadona”.
Mengajak asing masuk ke wilayah-wilayah yang “primadona” sesungguhnya kurang memberikan dampak ekonomi dibandingkan diarahkan ke wilayah-wilayah yang bukan primadona tetapi kehadiran asing menjadikaan wilayah itu menjadi primadona memiliki manfaat yang lebih baik.
Ketentuan lain adalah membatasi dominasi WNA dalam satu kawasan. Pemerintah juga perlu membatasi hak pengusaan lebih besar dari 40 % suatu kawasan dimiliki oleh asing, hal ini untuk menghindari lemahnya dominansi negara dalam sebuah kawasan.
Yang tidak kalah penting adalah berbagi tanggungjawab dengan pengembang. Para pengembang dikhawatirkan akan lebih senang membangun apartemen ketimbang membangun rumah sederhana. Buntutnya masyarakat berpendapatan rendah tidak bisa memiliki rumah, karena itu perlu pengaturan setiap pengembang yang menyediakan hunian bagi asing, diwajibkan menyediakan sejumlah rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pada akhirnya, kita dapat bersaing dengan ASEAN dalam membuka kesempatan kepemilikan asing untuk sarusun bahkan hunian lainnya dengan tetap membatasi hanya pada hak akses, tidak pada kepemilikan lahan seumur hidup. Diprioritaskan terlebih dahulu atau pada saat yang sama juga memberikan kemudahan pemenuhan kebutuhan rumah bagi WNI.
Kepemilikan hunian bagi asing dapat menjadi faktor katalisator bagi pertumbuhan wilayah jika diterapkan penggunaan kebijakan zonasi wilayah. Selain itu perlu pembatasan dominasi kepemilikan sarusun atau hunian dalam suatu zona atau bangunan demi tegaknya kedaulatan negara dan agar anak-anak bangsa ini tetap menjadi tuan di atas tanah airnya sendiri. *