Categories: Politik

Repatriasi Koleksi Jaap Kunst ke Nusa Tenggara Timur

Oleh: Barbara Titus

Kurator Koleksi Jaap Kunst dan dosen di Universitet van Amsterdam, Research Fellow di IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change)

Ahli etnomusikologi dunia menganggap Jaap Kunst (1891-1960) adalah bapak pendiri disiplin ilmu etnomusikologi. Ia berasal dari Groningen, kota provinsi di utara Belanda. Jaap Kunst aslinya dididik sebagai seorang pengacara. Namun, keluarganya adalah keluarga musik. Ayahnya pianis, Ibunya penyanyi, dan ia sendiri adalah pemain biola yang ulung.

Jaap Kunst adalah salah satu peneliti pertama dunia yang menggunakan alat perekam atau phonograph untuk merekam suara orang dari daerah seberang yang jauh dan tak ia kenal sebelumnya.

Setelah Fonograf Ditemukan

Sebelum fonograf ditemukan oleh Thomas Edison pada tahun 1877, tak mungkin orang dapat mendengar musik atau suara yang tidak muncul secara langsung dari suara, tubuh, atau alat musik yang ada di sekitarnya. Jadi, orang-orang dari Afrika atau Asia belum pernah mendengarkan musik dari Amerika Selatan atau Pasifik, begitu pula sebaliknya.

Jangankan itu, mereka belum pernah mendengar musik negara atau kota tetangga jika mereka tidak berkunjung langsung ke sana, atau mendatangkan artis dari seberang ke Eropa. Musik dari seberang, mereka ketahui dari kesaksian dari orang-orang yang pergi menjelajah dan menuturkan kembali kisah mereka.

Di era kolonial, banyak orang Eropa mengarungi lautan selama berabad-abad untuk mencari rempah-rempah, pakaian, dan sumber daya lainnya, dan sepulangnya ke kampung asal mereka bercerita tentang musik dan budaya sebrang tempat yang mereka kunjungi. Seringkali kisah-kisah ini ditandai apa yang mereka sukai dan apa yang dikenal oleh budaya mereka sendiri. Seperti kebanyakan orang, hal yang paling diingat adalah hal yang mereka kenal, atau malah sangat berbeda bagi mereka.

Hal ini mengakibatkan musik dari tempat yang jauh dari Eropa sering dinilai inferior atau “kurang berkembang” dibandingkan musik Eropa. Bagi orang-orang Eropa, sudah lama menganggap musik dan budaya mereka lebih unggul dibandingkan orang-orang di luar Eropa, namun hanya sedikit yang pernah mendengar musik dan budaya negara lain. Hal ini memungkinkan mereka untuk tetap berpatokan pada gagasan bahwa Eropa berhak untuk menundukkan orang lain di bawah kekuasaan mereka, dan melanggengkan kolonialisme.

Dengan fonograf, hal ini berubah. Suara musik itu sendiri kini dapat direkam, diambil dari sumbernya entah itu orang atau alat musik, dan dibawa ke Eropa, dalam jarak ribuan kilometer. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang-orang di Eropa dapat mendengar suara dan musik dari orang-orang di belahan dunia lain.

Hal ini mengubah penilaian mereka terhadap musik dan budaya lain. Orang Eropa menjadi lebih akrab dengan musik dari Asia, Afrika, dan Amerika, karena mereka dapat memutar ulang musik tersebut sebanyak yang mereka mau. Sebelum fonograf ditemukan, orang hanya dapat mendengarkan lagu yang sama mungkin sekali atau dua kali dalam hidup. Orang hanya dapat mengulang lagu-lagu yang dapat dinyanyikan atau dimainkan sendiri.

Jaap Kunst adalah salah satu peneliti pertama yang menggunakan fonograf. Ia bekerja di Hindia Belanda Hindia Belanda (Kini Indonesia) antara tahun 1919 dan 1934 sebagai pegawai negeri sipil pemerintah kolonial di Batavia (sekarang Jakarta). Ia merekam lebih dari 300 silinder lilin dengan musik dari Nias, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, Flores, Sumba, Timor dan Papua.

Ia mengumpulkan lebih dari 500 alat musik dari tempat tersebut. Dia merekam film bisu dan mengambil lebih dari 6.500 foto latihan musik, alat musik, dan latihan tari di sana. Ia menerbitkan banyak sekali buku dan artikel tentang musik nusantara. Dengan melakukan hal tersebut, ia menyajikan musik Indonesia kepada pembaca dan penonton di seluruh dunia. Argumen utama yang dikemukakannya adalah bahwa musik-musik tersebut tidak boleh dinilai berdasarkan apa yang disukai orang Eropa, namun berdasarkan preferensi sekelompok orang (kelompok “etnis”) yang menikmati dan mempraktekkan musik tersebut. Inilah yang mendasari disiplin ilmu baru pada pertengahan abad ke-20: etnomusikologi.

Namun, untuk memahami siapa Jaap Kunst dan mengapa karyanya masih penting, kita perlu melihat orang-orang di sekitarnya. Tidak pernah ada seorang jenius pun yang mampu mengubah cara berpikir atau “menemukan” suatu disiplin ilmu baru. Hal itu selalu merupakan kerja kolektif. Namun tidak semua anggota tim selalu terlihat.

Koleksi dan Kerja Kolektif Jaap Kunst

Ada beberapa orang yang menyadari apa yang sekarang kita kenal sebagai Koleksi Jaap Kunst, sesungguhnya tidak hanya berasal dari Jaap Kunst semata, tapi juga dari Katy Kunst-Van Wely (1897-1992), istrinya. Ia juga merekam musik. Sama seperti Jaap Kunst, Katy juga mengatur, memberi anotasi, dan menafsirkan rekaman, alat musik, foto, dan film yang mereka simpan.

Bulan madu Jaap dan Katy ke Bali pada tahun 1921 merupakan ekspedisi etnografi; mereka meneliti musik bersama-sama, dan mereka menerbitkan buku tentangnya bersama-sama, dengan judul De toonkunst van Bali [1924]. Katy Kunst bukan hanya asisten Jaap, mereka bekerja bersama-sama. Namun hanya Jaap yang mendapat pujian sebagai “bapak pendiri etnomusikologi”.

Ada juga banyak koleganya di Indonesia, yang tanpa mereka Jaap Kunst tidak akan pernah bisa melakukan penelitiannya. Mereka antara lain pembicara budaya, penerjemah, cendekiawan, penasihat, dan musisi yang membantunya menelusuri nama-nama tarian, tangga nada, dan hierarki budaya lokal. Beberapa nama yang muncul, karena Kunst menyebut mereka seperti: pemusik keraton Joyodipuro di Yogyakarta, ulama Kusumadinata dan Wiranatakusuma di Sunda, misionaris Jan Verschueren di Papua, dan Pieter Middelkoop untuk Zending di Timor.

Mereka yang namanya kita kenal sering kali karena posisi istimewa dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda: anggota bangsawan Jawa atau zending Belanda yang disebutkan di atas. Hingga kini kami belum mengetahui nama orang Flores, Timor, Sumba, Nias atau Waigéo yang ikut membantu Kunst merekam dan memahami musik setempat.

Setelah satu abad rekaman fonograf

Setelah Kunst, banyak orang yang juga merekam musik-musik asal Indonesia pada tahun 1920-an dan 1930-an dan mengirimkan rekamannya ke Eropa, masyarakat di Eropa bisa mendengar langsung musik tersebut. Namun bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Bisakah mereka terus mendengarkan musik mereka? Seringkali mereka tidak bisa.

Kunst benar dalam memperkirakan bahwa banyak dari musik-musik ini akan berhenti dimainkan, terutama karena dampak misi Kristen dan budaya massa global. Dia telah membawa rekamannya ke Eropa, dan rekaman itu sampai sekarang tersimpan di perpustakaan Universitas Amsterdam (setelah lolos dari kerusakan Perang Dunia II), dan terpisah dari tempat orang-orang yang pernah memainkan musik ini.

Mereka yang memainkannya mungkin saja telah lama berpulang. Namun, Bisakah kita mengubahnya? Bisakah kita menghubungkan kembali musik ini dengan pewaris budaya orang-orang yang membuat musik tersebut? Dan apa yang akan terjadi, jika kita melakukan ini, terhadap musik dan masyarakatnya? Akankah musik mereka kembali hidup, atau menjalani fase hidup baru, dalam musik baru, praktik baru, imajinasi dan ide baru? Ataukah, bagi sebagian, musik yang sama masih lah dimainkan oleh masyarakat di lokasi yang sama setelah satu abad?

Proses repatriasi koleksi Jaap Kunst yang dilakukan oleh Universiteit van Amsterdam dan IRGSC, mitra kami di Indonesia, kepada Dinas Arsip dan Perpustakaan Provinsi NTT merupakan satu langkah kecil. Kami berharap dialog kebudayaan dalam satuan abad ini bisa dilakukan dalam rasa egaliter dan melibatkan sekian lapis generasi. Untuk itu ‘Jaap Kunst Hoek’ atau pojok Jaap Kunst akan hadir di Perpustakaan Daerah Provinsi NTT agar para pengungjung dapat membuka ‘Koleksi Jaap Kunst’ dari satu abad silam. (*)

Komentar ANDA?

Canra Liza

Recent Posts

Warga Tiga Desa di Fatuleu Barat Dihimbau Buat Lubang Tanam Air

Kupang - Setiap Rumah di Desa Naitae, Tuakau dan Nuataus di Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten…

24 mins ago

Sambut HLN Ke-79, Donasi Insan PLN Terangi 3.725 Keluarga se-Indonesia

  Jakarta - Memperingati Hari Listrik Nasional (HLN) ke-79, PT PLN (Persero) melalui program Light…

42 mins ago

Teriakan “Melki-Johni Bungkus” Menggema Sepanjang Kampanye Ansy-Jane di Alor

Kalabahi - Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur nomor urut 1, Yohanis Fransiskus Lema dan Jane…

2 hours ago

Melki-Johni Berkibar di Debat Publik Undana, Salah Pilih Kuah Kosong!

Kupang - Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur NTT 2024-2029 Emanuel Melkiades Laka Lena -…

3 hours ago

BPMP NTT Dorong Kolaborasi Dinas Pendidikan dan Dinas Koperasi Manfaatkan Platform SIPlah

Kupang - Balai Penjaminan Mutu Pendidikan Nusa Tenggara Timur (BPMP NTT) menggelar konferensi pers yang…

15 hours ago

Survei Terkini Jelang Pilgub NTT, Melki-Johni Unggul Jauh dari SPK dan Ansy

Jakarta - Lembaga Survei Indonesia Development Monitoring (IDM) merilisi hasil survei terkininya terkait elektabilitas pasangan…

21 hours ago