Kupang – Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PSBI) Universitas Nusa Cendana (Undana) menggelar pentas sastra pada Jumat (26/5/2023) .
Pentas ini menampilkan musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, dan monolog, digelar di Lapangan Parkir Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undana mulai 17.50 Wita.
Dosen PSBI Undana Charles Jama menyebutkan, pentas sastra dengan tema ‘Sastra di Malam Sabtu’ menjadi wadah untuk menguatkan profesi mahasiswa yang kelak akan menjadi guru, pekerja seni serta sastrawan. “Pentas ini dapat menjadi tempat melatih, membina dan belajar mahasiswa agar semakin dekat dengan sastra,” kata Charles Lana.
Dia menyebutkan, melalui pentas ini, mahasiswa dapat menemukan potensi-potensi sastra mereka. “Ini juga menjafi sebuah proses menumbuhkan perkembangan sastra di PSBI baik secara teoritis maupun praktis”, imbuh Charles. Ia melanjutkan jika sastra itu bertumbuh dari kehidupan sosial saat berdiskusi dan berkumpul.
Charles mengiyakan jika mahasiswa PSBI Undana sebagai salah satu ujung tombak dari perkembangan sastra di NTT. Karena itu, universitas memberikan dukungannya dengan cara mewadahi kegiatan sastra melalui kurikulum.
“Undana semakin memberikan metode pembelajaran kreatif, bukan hanya berada dalam kelas, tapi juga prakteknya secara nyata dan besar-besaran,” ujarnya.
Dalam proses perkembangan sastra di era digital ini, bagi Charles, media berperan penting dalam menghasilkan karya sastra yang ‘sempurna’.
“Media sebagai tempat mendapat kritikan dan masukan. Prodi PSBI sering melakukan kegiatan sastra lewat media sosial seperti membuat video lalu mempostingnya lewat akun mahasiswa. Oleh karena itu, kritikan dan masukan dapat menjadi upaya yang sangat baik dalam proses penulisan sastra yang baik dan dapat diterima khalayak,” imbuh dia.
Ia melanjutkan. jika sastra dapat berkembang dari dua hal tersebut. Pertumbuhan sastra sebenarnya dapat dilihat dari bagaimana minat masyarakat dalam mengkritik karya sastra yang dibuat atau dilakoni oleh sastrawan.
Bagi Charles, sastra tidak terlalu terikat pada kaidah bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan bahasa sastra merupakan bahasa yang metaforis sehingga untuk memahaminya membutuhkan proses belajar. Karya sastra membutuhkan interpretasi dan proses penafsiran yang cukup lama. Tapi, Charles tidak menyarankan agar membuat karya sastra yang sembarangan.
“Dalam proses belajar tentunya harus tetap memperhatikan kaidah bahasa yang baik dan benar karena hal tersebut akan menjadi pedoman sebagai seorang sastrawan ataupun profesi sejenisnya di masa depan,” kata Charles.
Menurutnya karena karya sastra adalah bentuk kebebasan berekspresi sehingga tidak masalah jika suatu karya sastra tidak ditulis berdasar pada kaidah bahasa Indonesia. “Karya sastra menjunjung nilai keestetikan dari bahasa itu sendiri sehingga apakah mengikuti kaidah atau tidak, itu tidak akan mempengaruhi,” jelas Charles.
Salah satu mahasiswa yang juga menulis monolog pementasan, Reineldis Jaimun mengatakan proses belajar bukan hanya soal teori kebahasaan tapi juga tentang praktik.
“Ini tergantung dari para dosen. Kami ingin kegiatan praktik secara nyata dari bidang yang kami tekuni saat kuliah perlu terus ada dan prodi atau bahkan universitas bisa mewadahi dengan baik hal tersebut,” kata mehasiswa berkaos hitam tersebut.
Ia juga berharap agar pentas ini mampu lebih berkembang baik ditingkat internal prodi maupun eksternal seperti ditingkat universitas dan tingkat umum. Reineldis menjelaskan sastra sangat penting. Sastra merupakan seni yang dibutuhkan manusia. Sastra adalah hasil dari proses pemikiran dan perasaan manusia.
Dari pantauan, pementasan sastra tersebut membawakan monolog, musikalisasi puisi, dan dramatisasi puisi.
Pada salah satu monolog dibawakan absurb dengan judul “Saya Seorang Ibu”. Monolog ini menceritakan seorang ibu yang menggantikan suaminya yang telah meninggal menjadi tukang kayu untuk menafkahi ketiga anaknya. Pantauan jurnalis warga Sasando, pelakon merupakan mahasiswi dan membawakan monolog dengan ekspresi mengerutkan dahi dan tanpa senyum. Ia berbusana kemeja dan dibalut kain untuk bagian bawahan. Ia melakoni perannya sambil menggunakan karton yang telah dipotong menyerupai kayu.
Selanjutnya, ada pula monolog berjudul “Kemerdekaan” yang dibawakan oleh seorang mahasiswa dengan busana kemeja dan menggunakan kain tenun salah satu daerah di Flores. Ia melakoni perannya dengan ditemani oleh sebuah kursi kayu sebagai alat peraga.
Adapun pementasan musikalisasi puisi dengan judul “Berdiri Aku” dan “Berjuanglah” yang diiringi dengan dengan gitar. Selanjutnya ada pementasan dramatisasi “Doa Orang Lapar” karya W.S.Rendra dan “Mencari Tuhan”. Diketahui pementasan sastra ini dihadiri oleh sejumlah dosen dan puluhan mahasiswa. (Tesha)