Jakarta – Penolakan terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) terus bergulir.
Sejumlah komponen masyarakat, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), purnawirawan TNI/Polri juga menolak RUU HIP sebab tidak mencantumkan Tap MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran PKI.
Cendekiawan Yudi Latif menilai kesalahan dalam RUU HIP tidak hanya per pasal, tetapi juga per kalimat. Rumusan norma justru sebisa mungkin harus menghindari ambiguitas dan multiinterpretasi.”Pada hukum dasar UUD 1945, istilah Pancasila tidak terdapat di dalamnya. Namun, substansi dan kerangka teoritis itu bisa ditemukan di pembukaan dan berbagai pasal,” ujar Yudi.
Yudi Latif menyebutkan ketika Pancasila diterjemahkan menjadi norma negara, perspektif teoritis perseorangan, bahkan ayat kitab suci harus mengalami proses substansiasi. Konstitusi dan UU itu milik bersama. Oleh karena itu, proses dan rumusannya harus bersifat inklusif. Apalagi jika hal itu menyangkut rumusan normatif tentang Pancasila.
Syaiful Bakhri mengatakan, RUU HIP berada di bawah Tap MPR apabila merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 sehingga kedudukan RUU HIP dipertanyakan karena ada pengaturan yang sama dengan Tap MPR yang telah ada di atasnya.
“Apakah berlaku asas preferensi lex superior derogat legi inferior, atau lex posterior derogat legi priori. Bagaimana jika RUU HIP ini diuji? Apakah MK akan menafsirkan Pancasila? Dan Pancasila di UU akan diuji dengan Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945? Ini akan terasa absurd,” katanya.
PP Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahap berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rumadi Ahmad mengatakan RUU HIP berpotensi membuka kembali perdebatan dan konflik ideologi yang menguras energi.
“RUU HIP menurunkan derajat Pancasila dari norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) menjadi norma instrumental. Naskah akademik maupun draf RUU HIP mereduksi nilai-nila Pancasila,” imbuhnya. (media indonesia)