Oleh: Dominggus Elcid Li*
Pemerintah Singapura akhirnya menutup keran impor ternak babi dari Indonesia (Kompas, 24/4/2023) setelah pemerintah setempat menemukan virus ASF (African Swine Fever) pada ternak babi hidup yang diimpor dari Pulau Bulan (Indonesia).
Kisah menyebarnya virus ASF di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 2019, cenderung diabaikan, jika dibandingkan perang Kementerian Pertanian (Kementan) terhadap penyakit ternak lain seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang ternak sapi.
Kelemahan utama kita saat ini adalah minimnya kemampuan biosecurity yang amat terkait dengan deteksi dini, untuk memetakan ancaman terhadap food security yang konteksnya amat beragam di Indonesia. Misalnya, salah satu titik penyebaran awal ASF di Indonesia tampak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pintu masuk ASF berasal dari Timor Leste yang berbatasan langsung dengan Timor Barat (NTT).
Deklarasi resmi pemerintah Timor Leste baru muncul di Bulan September 2019, namun jika kita membuka berita online per Maret 2019, ASF sudah diketahui muncul di sana. ASF sendiri dideklarasikan secara resmi menyebar di PRC (People’s Republic of China) sejak Bulan Agustus 2018.
ASF bisa berkembang pada ternak babi domestik atau pun babi liar (hutan). Dalam kasus ASF di Pulau Timor yang masuk lewat Timor Leste asal muasal itu belum dijelaskan, sebab dalam konteks biosecurity di Timor Leste, titik pemeriksaannya masih amat tergantung pada laboratorium di Australia.
Dengan posisi Pelabuhan Dili sebagai pelabuhan internasional, dan impor ternak berasal dari berbagai benua (Australia, Amerika (Latin), Eropa dan Asia) kondisi kerentanan juga amat terbuka terhadap Provinsi NTT. Di Timor Leste misalnya, karkas (daging beku) yang berasal dari PRC juga bisa ditemui di Dili hingga berbagai distrik.
ASF dan ancaman terhadap perekonomian lokal
Untuk Provinsi NTT, kerugian akibat virus ASF diperkirakan mencapai 7 hingga 10 Triliun rupiah. NTT sendiri merupakan penghasil ternak babi tertinggi se-Indonesia.
Pada tahap awal, sampel ASF dari NTT baru bisa diperiksa di Medan (Sumatra Utara) yang jaraknya sekitar 4000 Km dari Kupang. Tahun ini, kabarnya, tes PCR untuk deteksi ASF sudah dapat dilakukan di lab milik Dinas Peternakan Provinsi NTT, di Kota Kupang, meski kapasitas tes per harinya masih jauh dari cukup.
Hanya satu lab untuk 22 kabupaten/kota di NTT dengan pemeriksaan per hari kurang dari 50 sampel. Sungguh kontras dibandingkan dengan jumlah ternak babi di NTT yang hampir mencapai 2.700.000 ekor. Dengan kapasitas tes sekecil ini, ditambah lagi ternak hanya diperiksa jika sudah sakit, jangan harap penyebaran virus ini bisa dicegah. Sebab membayangkan kecepatan penyebaran virus, dengan infrastruktur biosecurity yang minim jelas kita dalam posisi kalah.
Sampel dari Dili baru bisa diperiksa di salah satu laboratorium di Australia yang jaraknya 3700 Km dari Dili, Ibukota Timor Leste. Dengan posisi Dili sebagai pelabuhan internasional dengan indikator infrastruktur biosecurity yang rendah, maka ancaman untuk NTT benar-benar terbuka.
Apa yang dikhawatirkan ketika pemerintah Timor Leste memberikan pernyataan resmi pada bulan September 2019 benar-benar telah menjadi ancaman pada bulan Maret 2020 seiring dengan naiknya Covid-19 di berbagai wilayah Indonesia. Efek domino ASF pelan tapi pasti menyebar ke berbagai pulau di NTT dan Indonesia secara keseluruhan.
Di NTT, berhadapan dengan infrastruktur biosecurity yang amat terbatas, yang amat tidak sebanding dengan ancaman yang terbuka, membuat para peneliti berupaya mempresentasikan persoalan ini kepada pemerintah daerah setempat, dan kementerian luar negeri sejak tahun 2020. Isu yang diangkat awalnya tentang pentingnya biosecurity ‘Pulau Timor’, yang membutuhkan kerjasama internasional. Dalam konteks biosecurity Provinsi NTT, kementerian luar negeri perlu dilibatkan karena persoalan perbatasan darat.
Karantina perbatasan perlu lebih agresif, dan khusus untuk Timor tidak mungkin kita berjaga di pintu perbatasan. Kita perlu memastikan kapasitas biosecurity di Timor Leste juga didukung, appelabalagi ada wacana perdagangan bebas tiga negara yang sedang digagas.
Untuk itu evaluasi menyeluruh terkait kerentanan Indonesia dari aspek biosecurity yang dikaitkan dengan konektivitas antar pelabuhan/bandara dan arus barang agrikultur (termasuk karkas) sangat perlu dibuat.
Hal ini bukan hanya persoalan di Timor, di Batam pun harus dievaluasi, dengan pelabuhan bebas yang mempunyai akses langsung ke Kamboja sebagai titik transit utama PRC, maka Indonesia perlu mempunyai skenario jika berhadapan dengan berbagai outbreak di Tiongkok. DPR RI harus punya agenda dalam mempekuat regulasi terkait biosecurity.
Sayangnya setelah 3 tahun ASF menyebar dari Timur hingga ke Barat Indonesia, persoalan ini belum dianggap sebagai persoalan nasional terkait food security. Isu ini malah santer menjadi pembahasan serius kerjasama lembaga yang didukung oleh pemerintah Australia. Namun, intervensi yang diberikan masih sangat terbatas, hanya di beberapa titik di NTT. Indonesia membutuhkan kampanye terbuka untuk menangani persoalan ASF. Terlepas bahwa ini barang haram, dalam konteks food security sudah seharusnya Kementerian Pertanian melakukan langkah terbosan terhadap persoalan ASF.
Isu ini menjadi domain Kementerian Pertanian, karena warga di daerah tidak bisa berharap banyak pada Dinas Peternakan setempat (NTT). Dengan ruang fiskal yang amat terbatas membuat ide-ide terobosan untuk melakukan mass surveillance lebih dianggap sebagai kegiatan subversive dibandingkan sebuah langkah strategis untuk memastikan agar warga yang sudah di bawah garis miskin dengan nomer urut tiga se-Indonesia ini tidak semakin terpuruk.
Orang mungkin bisa terbantu dengan membayangkan dampak ekonomi akibat ASF sebesar 7 T (7000 Miliar)- 10 T (10.000 M) terhadap nilai ekonomi ternak terhadap warga miskin di NTT. Bandingkan dengan data mikro bahwa per keluarga miskin di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) jumlah uang tunai per bulan ada di angka 100 ribu rupiah, per keluarga.
Persoalan kemiskinan di NTT merupakan persoalan yang kompleks dan nyaris tidak tersentuh dengan logika pemerintahan saat ini. Misalnya, terkait persoalan perdagangan orang yang coba dibaca dalam perspektif politik ekonomi setempat. Seorang makelar atau perekrut lapangan (PL) yang datang dengan uang sebesar 2,2 juta rupiah untuk membawa anak perempuan sebagai buruh migran dalam kerangka debt bondage, bagaimana kita menyikapinya? Apakah makelar ini dilihat dalam posisi setan ataukah malaikat untuk keluarga miskin yang jumlah uang tunainya hanya sebesar 100 ribu per bulan itu?
Jika kita melihat angka migrasi keluar yang tinggi dengan trend kematian buruh migran yang juga tinggi yang tengah dihadapi warga miskin di NTT seharusnya sudah menjadi tanda bahaya. Namun pada saat yang sama dengan uang tunai yang jumlahnya amat kecil itu, kita juga sulit membayangkan hidup macam apa jika ia memilih tinggal dan ‘tidak pergi’.
Inovasi dari daerah dan ‘jalan buntu’
Berhadapan dengan ancaman ASF yang mengancam peternakan besar hingga kecil, dan perdagangan antar pulau di kawasan Nusa Tenggara persoalan ini menjadi persoalan serius yang dampaknya akan terasa dalam hitungan dekade bahkan generasi. Dalam konteks sosiologi pedesaan di kawasan Nusa Tenggara, ternak merupakan tabungan (saving) utama para petani. Kehilangan saving dalam hitungan sekian Triliun membutuhkan waktu lama untuk pulih.
Bahkan untuk proses restocking ternak babi pun instrumen penanggulangan teramat minim. Orang tidak mempunyai alat sederhana (test pack) yang dapat membantu para petani untuk kembali hidup layak. Misalnya untuk ternak babi dengan berat 30 kg bisa terjual di angka 2-3 juta rupiah, artinya itu setara dengan angka satu kepala manusia. Piramida korban akibat ketidakmampuan kita untuk keluar dari ancaman food security tidak pernah menjadi panduan kebijakan.
Pemerintah semangat ketika bicara investasi, sementara penderitaan tidak dibicarakan. Strategi pembangunan semacam ini perlu dikoreksi jika kita berbicara soal rakyat. Sebab jika bank bangkrut dengan mudah diberikan strategi bail out, sedangkan petani peternak bangkrut itu urusan mereka sendiri. Ini tidak adil.
Di NTT dalam 3 tahun terakhir ini para peneliti praktis berusaha mengusulkan agar pemerintah melakukan sesuatu berkenan dengan penyebaran ASF. Peneliti yang menginisiasi pemeriksaan massal Covid-19 di NTT telah melakukan presentasi tentang metode mass surveillance terkait ASF di depan pejabat kepala dinas hingga gubernur. Namun, setelah 14 kali pertemuan, birokrat setempat hanya memutuskan bahwa inovasi kelembagaan semacam itu tidak memungkinkan karena tidak diatur dalam UU No.23 Tahun 2014 tentang perangkat daerah.
Singkatnya, ancaman biosecurity belum dianggap prioritas. Matematika sederhana bahwa ancaman yang memiskinkan warga sebesar 7-10 T belum dilihat sebagai isu penting, misalnya jika membandingkan dengan angka riil PAD Provinsi NTT sebesar 1-1,3 T. Ataupun biaya pembuatan sebuah laboratorium yang mempunyai kapasitas mengantisipasi ancaman biosecurity dalam skala massal membutuhkan dana sebesar 88 miliar dengan biaya operasional 6 M per tahun, itu jumlahnya amat kecil jika dibandingkan dengan angka 7000 M. Juga masih lebih kecil dibandingkan dengan biaya Pemilu di NTT untuk tahun 2023 sebesar 348 M.
Ya, kemampuan inovasi dari daerah juga berhadapan dengan jalan buntu ketika undang-undang menjadi pedoman kacamata kuda. Sejak kapan regulasi berada di depan inovasi? Apa yang belum diatur dalam undang-undang bukan berarti illegal, tetapi ini menunjukkan kapasitas berbagai lembaga negara yang tidak adaptif terhadap tantangan. Dengan kemampuan operator sistem yang terbatas, inovasi di tingkat regulasi juga pasti teramat minim.
Semula, harapan sempat muncul ketika Bappenas sempat tertarik ketika mereka melakukan pertemuan di Manado tahun 2022 terkait proyek strategis. Sayangnya isu ini kandas di tahap Musrembangnas. Penyebabnya sederhana, kategori lab biosecurity dan bioindustry tidak bisa diakomodir sistem ketika coba dimasukan dalam aplikasi Bappenas. Laboratorium biosecurity yang mampu merespons ancaman dalam konsep one health (integrasi kesehatan hewan, tumbuhan, dan manusia), tidak dapat dimasukan dalam sistem Bappenas yang tidak membayangkan adanya inovasi dari daerah yang sifatnya kompleks. Akibatnya fatal.
Jika dalam kerangka abstrak RKP 2023 bertajuk ‘Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan’ seharusnya pembahasan tentang ancaman dan penanggulangan ASF yang datang dari daerah seharusnya dapat diterima, tetapi dalam operasionalnya itu tidak terjadi. Sebab saat Musrembangnas ketika tidak ada terobosan politik yang melampaui wewenang operator aplikasi maka kategori ancaman plus inovasi yang muncul dari daerah tidak mungkin terbaca.
Jalan buntu semacam ini perlu menjadi pembahasan serius. Khususnya terkait persoalan kapasitas negara (state capacity) dalam berhadapan dengan ancaman biosecurity dari pinggiran. Selama isu biosecurity hanya diletakan sebagai persoalan penyakit klinis, dan tidak dibaca dalam perspektif politik ekonomi peluang untuk didengarkan juga sangat kecil. Selama ragam perekonomian rakyat luput menjadi kajian ekonomi makro, selama itu pula ancaman terkait food security tidak akan pernah menjadi prioritas. Orang tidak pernah membayangkan harga satu kepala manusia, nilainya setara dengan nilai seekor ternak bagi keluarga miskin di pedalaman.
Lebih buruk lagi, dosa publik atau dosa dalam konteks kebijakan publik yang buruk seperti pembiaran hingga saat ini tidak dikenal di Indonesia. Peti mati dan ratapan orang miskin dari aspal cargo bandara untuk ratusan jenasah pekerja migran tidak pernah menjadi pergumulan batin pejabat publik.
Krisis yang ditimbulkan akibat ancaman biosecurity belum menjadi bahan kajian berbagai lembaga pertahanan sekali pun. Isu food security belum menjadi isu strategis di level nasional. Namun, bagaimana mungkin kita bisa berbicara dalam konteks nasional dengan hitungan belasan ribu pulau, jika mengontrol biosecurity di Pulau Bulan pun kita tidak mampu?
*Peneliti IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change), tinggal di Kupang (Nusa Tenggara Timur)