Politik

Mencari Wajah Presiden Terpilih Prabowo: Analisis Kampanye Pilkada di Era Media Sosial

Oleh: Jegi Y. A Taneo (Petani Kampung)

Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, fenomena kampanye calon kepala daerah yang memanfaatkan media sosial terus berkembang dengan dinamis. Salah satu tren terbaru yang menarik perhatian adalah strategi para calon kepala daerah yang mencoba menghubungkan narasi kampanyenya dengan sosok presiden terpilih, seperti yang terjadi pada Prabowo Subianto.

Melalui narasi ini, mereka seolah-olah mengisyaratkan atau bahkan secara eksplisit mengklaim bahwa mereka didukung oleh Prabowo demi meningkatkan elektabilitas. Namun, di balik fenomena ini, muncul pertanyaan: apakah ini bentuk strategi politik yang cerdas, atau hanya eksploitasi simbol kekuasaan yang tidak berdasar?

Kampanye di Era Digital dan penggunaan media sosial dalam politik telah mengubah lanskap kampanye di Indonesia. Jika dahulu calon kepala daerah harus melalui jalur kampanye konvensional seperti pertemuan tatap muka, baliho, atau media cetak, kini berkembang dengan memanfaatkan berbagai platform digital seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan X (sebelumnya Twitter) untuk membangun narasi yang mudah diakses dan dibagikan.

Dalam konteks ini, pencitraan menjadi sangat krusial. Calon kepala daerah yang ingin menunggangi gelombang dukungan presiden terpilih menggunakan media sosial sebagai arena untuk membangun kesan afiliasi politik. Hal ini dapat berupa foto bersama, ucapan terima kasih, atau pernyataan yang secara tersirat mengesankan bahwa mereka berada dalam lingkaran dukungan tokoh nasional. Narasi semacam ini memberikan ilusi kedekatan politik yang bertujuan mempengaruhi persepsi publik. Namun, apakah cara ini efektif atau justru membahayakan integritas demokrasi?

Dalam konteks pemilihan presiden yang baru selesai, namun Politik Simbolis dan Kekuatan Sosok Prabowo sebagai presiden terpilih memiliki daya tarik yang kuat. Ia adalah tokoh yang sudah lama berada di panggung politik Indonesia, dengan basis pendukung yang loyal dan elektabilitas tinggi. Tidak mengherankan jika banyak calon kepala daerah ingin diidentikkan dengan Prabowo untuk mendapatkan simpati dan dukungan massa.

Namun, ketika narasi politik dibangun hanya dengan mengandalkan kedekatan simbolis, tanpa substansi nyata, ada potensi risiko besar. Ini mengarah pada politik populisme yang menekankan pada pencitraan semata. Dalam jangka panjang, strategi ini berpotensi merusak proses demokrasi, karena calon kepala daerah lebih berfokus pada menarik perhatian publik dengan narasi permukaan daripada menawarkan program-program konkret yang dapat memajukan daerah yang dipimpinnya.

Strategi yang menonjolkan kedekatan dengan tokoh nasional, terutama presiden terpilih, memang bisa mengangkat elektabilitas calon kepala daerah dalam jangka pendek. Namun, hal ini bisa menjadi pedang bermata dua. Rakyat Indonesia semakin kritis terhadap klaim-klaim politik yang tidak berdasar.

Jika narasi afiliasi ini terbukti tidak memiliki dasar yang kuat, calon kepala daerah berisiko kehilangan kepercayaan pemilih. Alih-alih mendapatkan dukungan, mereka bisa dianggap sebagai oportunis yang hanya menggunakan simbol kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Lebih jauh lagi, pemilih saat ini semakin cerdas dalam menilai kebijakan dan visi calon kepala daerah. Mereka tidak hanya mencari calon yang “dekat” dengan kekuasaan, tetapi juga yang mampu menghadirkan solusi nyata terhadap masalah-masalah lokal seperti pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, sekadar menempel pada figur nasional, tanpa memberikan program konkret, dapat mengakibatkan hilangnya dukungan pemilih yang lebih rasional.

Selain itu dalam bingkai Narasi Politik Media sosial, dengan kemampuannya membentuk opini publik, menjadi alat utama dalam kampanye politik modern. Para calon kepala daerah sering kali memanfaatkan media sosial untuk mengendalikan narasi yang berkembang di masyarakat. Salah satu strategi yang umum adalah dengan menampilkan momen-momen yang memberikan kesan bahwa mereka didukung oleh pemimpin nasional, bahkan ketika kenyataannya tidak demikian.

Algoritma media sosial yang memprioritaskan konten viral juga mendukung penyebaran pesan semacam ini. Potongan gambar, video singkat, atau bahkan satu unggahan di Instagram bisa dengan cepat menyebar, membangun persepsi bahwa seorang calon memiliki kedekatan dengan presiden terpilih. Dalam banyak kasus, narasi ini sulit diverifikasi oleh publik karena sifat media sosial yang cepat dan dangkal, sehingga pemilih sering kali menerima pesan tersebut tanpa meneliti lebih dalam.

Namun, di sinilah letak tantangan bagi para pemilih. Sebagai pemilih kita perlu lebih kritis dalam menilai klaim politik di era digital ini. Pemilih yang cerdas tidak boleh terjebak oleh narasi-narasi instan yang disebarkan melalui media sosial, tetapi harus mengevaluasi rekam jejak, program kerja, dan visi calon secara mendalam.

Pada dasarnya Demokrasi yang Sehat akan selalu mengembalikan Fokus pada Program Nyata, melihat, fenomena calon kepala daerah yang mencari wajah presiden terpilih Prabowo hanyalah bagian dari strategi politik yang berkembang di era digital. Namun, jika dibiarkan tanpa kritik, hal ini dapat mereduksi kualitas demokrasi kita. Sebuah demokrasi yang sehat tidak hanya tentang siapa yang memiliki akses atau dukungan dari tokoh nasional, tetapi lebih pada bagaimana para pemimpin daerah mampu membawa perubahan nyata bagi masyarakat yang mereka pimpin.

Dalam hal ini, publik perlu lebih kritis terhadap strategi pencitraan yang berlebihan. Dukungan nyata dari presiden terpilih seharusnya diwujudkan dalam bentuk kolaborasi kebijakan dan program kerja yang konkret, bukan sekadar klaim atau narasi di media sosial. Para calon kepala daerah perlu diarahkan untuk lebih fokus pada solusi nyata bagi masalah-masalah di daerah, daripada menghabiskan energi untuk membangun kedekatan simbolis dengan kekuasaan pusat.

Sebagai rakyat biasa yang melihat Fenomena pencitraan calon kepala daerah yang seolah-olah mendapatkan dukungan dari presiden terpilih adalah refleksi dari bagaimana politik di Indonesia saat ini semakin bergantung pada simbol dan narasi di era media sosial.

Namun, di balik strategi ini, tersembunyi tantangan besar bagi pemilih dan demokrasi kita. Pemilih perlu semakin waspada dan kritis dalam menilai klaim politik yang disampaikan, sementara calon kepala daerah perlu mengarahkan kampanyenya pada solusi nyata, bukan sekadar pencitraan yang dangkal.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak terjebak dalam politik pencitraan semata, tetapi tetap berfokus pada pembangunan yang berbasis pada program yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh rakyat. (*)

Komentar ANDA?

Canra Liza

Recent Posts

Debat Perdana, Melki-Johni Pastikan TPP ASN Disalurkan Tepat Waktu

Kupang - Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur NTT Melkiades Laka Lena - Johni Asadoma…

7 mins ago

Kelompok Tani Poco Leok Panen Berulang, Setda Manggarai Apresiasi Program TJSL PLN

Manggarai - Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur…

9 hours ago

Kata Pengamat Soal Kedekatan Melki-Johni dengan Presiden Prabowo dan Kabinet Merah Putih

Kupang - Semua calon Gubernur NTT bisa punya akses ke pusat kekuasaan. Tetapi yang sedang…

11 hours ago

Empat Prodi di Undana Jalani Akreditasi Internasional FIBAA dengan Tim Asesor dari Jerman

Kupang - Universitas Nusa Cendana (Undana) semakin menunjukkan komitmennya untuk bersaing di tingkat global melalui…

14 hours ago

Jadi Narasumber Penguatan Moderasi Beragama, Melki Laka Lena: Anak Muda NTT Jangan Terjebak Politik Identitas

Kupang - Ketua Yayasan Tunas Muda Indonesia (YTMI) Emanuel Melkiades Laka Lena menjadi narasumber pada…

17 hours ago

Dessy, Sakti, Natan Ketemu BPBD NTT, Ada Peluang 5.700 Korban Seroja di Kupang Terbantu Dana Hibah

Kupang - Tiga Anggota DPRD Kabupaten Kupang Dessy Ballo-Foeh, Natan Minfini dari PDIP dan Sakti…

1 day ago