Rotogesa, Ngada – Sejumlah mama-mama dari Kabupaten Ngada, Flores, NTT berbagi pengalaman dan perjuangannya melakukan usaha konservasi melalui bambu pada peringatan Hari Kartini di Kampus Bambu Turetogo, Desa Ratogesa, Ngada pada 21 April 2022.
Kisah para Mama Bambu ini direspon para akademisi, pemimpin agama, dan aktivis lingkungan dalam program Bamboo Collaborative Learning (Bersama Belajar Bambu) bertajuk Perempuan Penyelamat Alam: Cerita dari Desa Bambu yang dihelat Yayasan Bambu Lestari (YBL).
Mama Leri dari Desa Inegena, Bajawa, menyatakan diri tak hanya ibu rumah tangga juga kepala keluarga. Ia ditinggal suami tanpa kabar sejak merantau jadi buruh kebun sawit di Kalimantan. Selama Pandemi Covid-19, anak perempuannya yang mengidap epilepsi sering sakit. Sepanjang tahun sakit kejang, batuk, dan pilek.
Leri menjawab situasi sulit yang dialaminya dengan kerja keras. Ia menjadi salah satu ibu pelopor bambu dengan membuat bibit sendiri. Ia berjalan kaki ke ladang sekitar satu jam untuk mencari bakal bibit bambu yang sesuai.
“Paling sulit karena susah air. Kalau 3 hari tidak hujan, berusaha beli air tangki. Harganya Rp 70 ribu, seminggu beli dua kali, jadi biaya Rp 140 ribu,” kisahnya tentang tantangan merawat sekitar 2000 bibit bambu.
Ia mengaku desanya sudah lama sulit air. “Ada mata air di bawah, tapi susah ditarik pompa karena terlalu jauh dari sungai,” sebut Leri. Leri juga membantu mama lain mencari bibit. Mereka memutuskan berkelompok mencari anakan bambu seminggu dua kali. Leri yakin jika ribuan bibit bambu yang dihasilkan ini bersama belasan Mama Bambu lain di desanya ini tumbuh besar, akan menambah sumber air.
Cerit lain dari Mama Albina dari Desa Ineleka yang mampu membiayai anak sekolah dari insentif bibit bambu. Awalnya sulit merawat bibit, tapi setelah penyuluhan usahanya mulai nampak dengan pertumbuhan helai daun.
“Kami merasa bangga karena awalnya tidak pernah tahu jika bambu bisa dibibitkan. Hanya tahu bambu nenek moyang. Ambil bibit yang bagus, tidak terlalu tua dan muda. Harapan kami, program ini berlanjut,” harapnya.
Albina juga merasa bambu bisa mengurangi dampak gas beracun dari belerang dekat rumahnya. “Ada 3 orang meninggal tahun 2021. Semoga bambu menahan uap dan resapkan ke dalam dengan akarnya,” katanya.
Beberapa mama lain mengatakan sejak terlibat dalam program desa bambu ini, tak hanya tambahan penghasilan, juga bisa aktif berorganisasi, merencanakan kegiatan untuk penanaman lahan, dan merasakan pengalaman baru. Misalnya memiliki dan menggunakan HP untuk mengisi aplikasi pembibitan. Gawai pintar ini dibagikan oleh YBL untuk para Mama Bambu yang memenuhi syarat.. Hal baru lain adalah memiliki buku tabungan sendiri dan bisa mencairkannya langsung ke bank.
Bahkan ada sejumlah desa mengalokasikan dana desa untuk mendukung program mama bambu ini seperti Desa Genamere dan Inegena. Dana insentif ini untuk membantu proses penanaman dan perawatan bibit. “Bambu tak hanya habis sekali potong, tapi untuk anak cucu,” seru Albina.
Selama proses pembibitan dan penanaman, para mama juga merasakan sejumlah tantangan. Misalnya Mama Lena dari Desa Batukapu sedih karena suaminya sakit tidak bisa bekerja dan anaknya perlu biaya sekolah. Insentif bibit dirasa sangat membantu, setelah mengalami sejumlah kesulitan mencari bibit bambu. Selain itu, manfaat bambu menurutnya sangat penting. “Mata air di hutan, sumbernya kayu dan bambu,” urainya.
Program desa bambu tak hanya memberi pangan, papan atau bahan bangunan, juga jasa lingkungan seperti mencegah erosi serta menjaga cadangan air.
Mama Erna dari Desa Beja juga meyakini desanya yang sulit air akan berubah di masa depan karena ia dan kelompok pelopor bambu sudah menanam ribuan bibit bambu di lahan kritis. Ia berharap ada pengembangan program dengan tambahan keterampilan pengolahan bambu jadi kerajinan atau mengolah rebung.
“Selama ini hanya buat kandang, atap rumah, dinding. Perlu pelatihan pemanfaatan bambu yang misal anyaman dan kerajinan. Berharap pemasaran selongsong bambu dan pengolahan tunas bambu, rebung. Selama ini hanya sayur dan sambal,” katanya bersemangat.
Desy Ekawati dari Badan Standarisasi Instrumen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut para Mama Bambu adalah bagian penting dari gerakan besar desa bambu. Ia mengatakan Pemprov NTT dan Kemenkomarves sudah mendukung. Karena itu perlu ada kelanjutan pemanfaatan dan membangun visi desa bambu. Pengalaman para mama membuktikan peningkatan peran mama dalam keluarga dan lingkungan.
Yuvensius Stevanus Nonga dari Walhi NTT mengapresiasi semangat Hari Kartini dari para Mama Bambu.
“Masih banyak cara pandang patriarkhi menganggap perempuan tidak menghasilkan. Melestarikan bambu, juga melestarikan kuasa perempuan atas budaya lokal,” katanya. Tradisi Ngada adalah perempuan sebagai pewaris. Apalagi perempuan terlibat dari proses perencanaan sampai pelaksanaan, para mama dinilai berpartisipasi penuh.
Pendeta Mery Kolimon, Gereja Masehi Injili di Timor menyatakan sangat ingin belajar dari Mama Bambu. Ia menyebut gereja berperan penting dalam isu lingkungan dan sosial dan mengundang para mama bambu untuk mengajarkan pembibitan bambu pada perempuan lain di Timor, Alor, Rote, dan Sabu.
“Siklon Seroja merusak alam, ratusan rumah rusak. Bagaimana berdamai dengan alam, gereja juga melakukan pemulihan alam. Minta mama di Ngada jadi guru untuk tanam bambu,” katanya.
Menurutnya masalah krisis air adalah beban ganda perempuan. Bambu bisa jadi salah satu solusi untuk mengurangi beban ini. Dampak beban ganda ini adalah makin banyak buruh migran jadi korban perdagangan orang.
“Harapan ada di desa, merawat alam. Kalau pergi jadi pekerja migran risiko perbudakan. Kalau kerja di kampung sendiri, karena kultur matrilinial, perempuan kuat dan berdaya,” lanjut Pendeta Mery.
Dian Kartika Sari, konsultan gender dan inklusi sosial YBL merangkum pengalaman hidup para Mama Bambu yang menciptakan perubahan. Para mama tak hanya jadi pemimpin, juga belajar demokratis, berkumpul, dan negosiasi. Mereka memiliki kemampuan menyuarakan kepentingan dan hak berpendapat. Perubahan terjadi di tingkat mama sebagai individu, keluarga, dan di masyarakat karena bisa menghasilkan bambu untuk lingkungan dan ekonomi masa depan.
Pelestarian rumpun bambu di NTT adalah kisah panjang. Salah satunya adalah inisiatif Linda Garland, pendiri YBL pada 1993 yang merespon bencana gempa dan tsunami di Flores pada 1992 dengan membuat gerakan penanaman satu juta bambu bersama pemerintah daerah. Perjalanan ini dilanjutkan putranya, Arief Rabik dengan program 1000 desa bambu.
Sebanyak 388 perempuan atau mama di 21 desa pada 7 kabupaten di Flores terlibat dalam program pembibitan bambu ini dan pada 2021 mereka menghasilkan 2,5 juta bibit untuk melestarikan kembali lahan kritis. Program ini didukung pendanaannya oleh Pemprov NTT dan sejumlah kolaborasi dengan lembaga lain.
Selain pembibitan, ada juga kelompok mama yang membuat alternatif wadah bibit pengganti plastik polybag dengan serat alami seperti anyaman bambu dan daun pisang. Bambu juga diyakini mampu menyimpan karbon untuk mengurangi emisi di atmosfer sebagai bagian dari aksi mengurangi krisis iklim global. (*/ybl)