Mahasiswa Manggarai Laporkan Setya Novanto dan Gubernur NTT ke KPK

  • Whatsapp
Sumber: mediaindonesia.com

Jakarta–Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Manggarai (Amang) mendatangai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (16/5).

Mereka melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dalam privatisasi Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Amang merupakan organisasi para mahasiswa asal Manggarai, Flores, dari berbagai kampus di Jakarta. Mereka menilai, ada dugaan korupsi dalam proses kerja sama Bangun, Guna, Serah (built, operate, transfer/BOT) pihak Provinsi NTT dengan PT Sarana Investama Manggabar (SIM), perusahaan yang diduga milik Ketua DPR RI, Setya Novanto.

Perjanjian BOT itu dengan Nomor 04/SIM/Dirut/V/14 dibuat pada 23 Mei 2014 terkait pengelolaan lahan seluas 31.460 meter persegi di Pantai Pede, yang terletak di pesisir Kota Labuan Bajo, ibu kota Mabar–daerah yang kini dikembangkan sebagai salah satu daerah destinasi pariwisata prioritas oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dalam laporan yang dibawa ke KPK, disebutkan sejumlah nama yang menjadi terlapor, antara lain Gubernur NTT Frans Lebu Raya sebagai terlapor I, Bupati Mabar Gusti Dula sebagai terlapor II, Direktur PT SIM Heri Pranyoto sebagai terlapor III, dan Setya Novanto sebagai terlapor IV.

Adapun tindakan keempat orang dinilai memenuhi unsur tindakan pidana korupsi, yakni melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, menguntungkan diri sendiri dan pihak lain, serta merugikan keuangan negara.

Berikut sejumlah dugaan pelanggaran yang ditemukan Amang:

Gubernur Frans Lebu Raya telah melanggar ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2003. UU itu mewajibkan Pemprov NTT menyerahkan aset miliknya yang ada di Mabar kepada Kabupaten Mabar pascapembentukan kabupaten itu. Sementara itu, Bupati Dula memilih abai dengan ketentuan UU itu, yang mana ia memilih tunduk dan bertekuk lutut di hadapan Lebu Raya.

Indikasi kongkalikong dalam perjanjian itu makin kentara dengan tidak dimasukkannya sama sekali UU No 8 Tahun 2003 sebagai bahan pertimbangan dalam dokumen perjanjian kerja sama dengan PT SIM.

PT SIM termasuk masih baru dalam bisnis kepariwisataan, berhubung didirikan dan disahkan sebagai perusahaan yang berbadan hukum pada 2011. Karena itu, perusahan tersebut seharusnya dipandang belum memiliki jam terbang memadai dalam mengelola barang milik daerah untuk kawasan wisata Labuan Bajo yang bertaraf internasional.

Tidak ada keterbukaan dari Lebu Raya tentang mekanisme perjanjian ke tangan PT SIM, apakah melalui penunjukan langsung atau melalui mekanisme tender, karena PP No 27 Tahun 2014 mengharuskan mekanisme tender.

Dalam kontrak dengan PT SIM, Lebu Raya masih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang sudah dibatalkan berlakunya, tetapi masih tetap dijadikan landasan dalam pembuatan perjanjian kerja sama. Sementara PP No 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, tertanggal 24 April 2014, sebagai PP yang menggantikannya tidak dijadikan dasar pertimbangan.

Lebu Raya, juga menggaransi PT SIM bahwa lahan Pantai Pede tidak dalam sengketa dan bebas dari tuntutan hukum pihak mana pun. Padahal, Lebu Raya sadar dan tahu bahwa masyarakat dan Pemda Mabar sejak Bupati Fidelis Pranda pada 2003 tetap menuntut penyerahan Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang dikuasai oleh Gubernur NTT.

Tidak ada klarifikasi tentang perubahan atau penerbitan Sertifikat Hak Pakai/SHP baru dari semula SHP No 10 dan 11 menjadi SHP No 3 dan 4 yang dilakukan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada 2012 dengan alasan SHP No 10 dan SHP No11 hilang.

PT SIM diizinkan untuk mengubah sertifikat Hak Pakai No 3 dan No 4 yang menjadi sertifikat Hak Guna Bangunan. Selanjutnya sertifikat HGB tersebut dijaminkan kepada lembaga keuangan di Bank. Padahal, PP No 27/2014 melarang pihak pengelola menjaminkan obyek yang disewa untuk dijadikan jaminan hutang.

Tidak adanya penjelasan atau penegasan di dalam perjanjian, apakah telah ada persetujuan DPRD atau tidak dan beban biaya terkait pengurusan izin-izin dan lain-lain menjadi beban pihak siapa. Padahal di dalam PP No 50/2007, persoalan beban biaya dan persetujuan DPRD mutlak diperlukan karena menyangkut aset daerah yang dijadikan objek perjanjian.

Tidak ada keterbukaan dari Lebu Raya tentang mekanisme perjanjian ke tangan PT SIM, apakah melalui penunjukan langsung atau melalui mekanisme tender, karena PP No 27 Tahun 2014 mengharuskan mekanisme tender.

senja di pantai pede ukuran kecil
Pantai Pede

Dalam kontrak dengan PT SIM, Lebu Raya masih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang sudah dibatalkan berlakunya, tetapi masih tetap dijadikan landasan dalam pembuatan perjanjian kerja sama. Sementara PP No 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, tertanggal 24 April 2014, sebagai PP yang menggantikannya tidak dijadikan dasar pertimbangan.

Lebu Raya, juga menggaransi PT SIM bahwa lahan Pantai Pede tidak dalam sengketa dan bebas dari tuntutan hukum pihak mana pun. Padahal, Lebu Raya sadar dan tahu bahwa masyarakat dan Pemda Mabar sejak Bupati Fidelis Pranda pada 2003 tetap menuntut penyerahan Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang dikuasai oleh Gubernur NTT.

Tidak ada klarifikasi tentang perubahan atau penerbitan Sertifikat Hak Pakai/SHP baru dari semula SHP No 10 dan 11 menjadi SHP No 3 dan 4 yang dilakukan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada 2012 dengan alasan SHP No 10 dan SHP No11 hilang.

PT SIM diizinkan untuk mengubah sertifikat Hak Pakai No 3 dan No 4 yang menjadi sertifikat Hak Guna Bangunan. Selanjutnya sertifikat HGB tersebut dijaminkan kepada lembaga keuangan di Bank. Padahal, PP No 27/2014 melarang pihak pengelola menjaminkan obyek yang disewa untuk dijadikan jaminan hutang.

Tidak adanya penjelasan atau penegasan di dalam perjanjian, apakah telah ada persetujuan DPRD atau tidak dan beban biaya terkait pengurusan izin-izin dan lain-lain menjadi beban pihak siapa. Padahal di dalam PP No 50/2007, persoalan beban biaya dan persetujuan DPRD mutlak diperlukan karena menyangkut aset daerah yang dijadikan objek perjanjian.

Dalam perjanjian, pembayaran uang kontribusi dari PT SIM dimasukkan melalui Rekening Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada Bank NTT Nomor: 001.01.02.001018-7/G. Padahal, ketentuan UU mengharuskan pembayarannya itu melalui rekening kas umum daerah.

Dengan mengacu pada poin-poin kejanggalan tersebut, Amang menilai, ada dugaan kuat para terlapor melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU Tipikor. Karena itu, sangat beralasan untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK.

“Institusi yang paling bisa diperacaya untuk mengungkap motif, modus dan pola dan dugaan korupsi terkait polemik di Pantai Pede yang dilakukan oleh Lebu Raya, Gusti Dula, PT SIM dan Novanto adalah KPK,” kata Arrio Jempau, koordinator Amang.

Ia menegaskan, upaya mengusut kasus ini merupakan bagian dari upaya untuk menindak praktik-praktik korupsi di NTT, provinsi yang selalu diposisikan sebagai provinsi terkorup menurut survei Indonesia Corruption Watch (ICW), tetapi hingga saat ini, belum ada pejabat, gubernur, bupati, wali kota, yang masuk penjara.

“Sudah saatnya KPK terlibat langsung untuk menyelesaikan polemik pantai Pede terutama menemukan indikasi korupsi di dalamnya. Dari keterangan terlapor I sampai terlapor IV, diharapkan KPK dapat menemukan siapa saja yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,” tegas Ovan Wangkut, Sekjen Amang.

Aksi dan laporan hari ini merupakan agenda lanjutan Amang Jakarta dalam advokasi kasus Pantai Pede-satu-satunya wilayah pesisir di Labuan Bajo yang kini masih bisa diakses bebas oleh publik. Mereka menilai, menolak pembangunan hotel di Pantai Pede ialah bagian dari perjuang untuk memenuhi hak publik terhadap ruang terbuka.

Sebelumnya, Amang menggelar aksi dan audiensi di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). (sumber: mediaindonesia.com)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *