Oleh: Yustina C. Febrianti Salsinha*
Indonesia sempat bergelar ‘negara mega biodiversitas’ dengan wilayah daratan hijau yang menyimpan ribuan spesies tumbuhan di dalamnya. Namun, masihkah Indonesia memegang gelar yang sama saat ini?
Tumbuhan merupakan sumber daya alam hayati yang dapat terbaharui. Namun tidak demikian dengan keanekaragaman tumbuhan.
Peningkatan populasi manusia di bumi telah berdampak pada peningkatan kompleksitas kebutuhan dan penurunan kualitas ekosistem alami serta pemusnahan berbagai jenis tumbuhan secara pesat. Dan masalah ini justru diperparah di wilayah tropis.
Sekitar 35 juta hektare hutan hujan tropis digunduli setiap tahunnya. Jika kejadian ini terus berlanjut, diperkirakan dapat sepenuhnya melenyapkan hutan tropis bumi dalam 100-150tahun.
Kekhawatiran akan hilangnya keanekaragaman spesies karena rusaknya wilayah hutan(sebagai sumber utama keanekaragaman tumbuhan) saat ini menjadi perhatian bagi upaya konservasi.
Pada dasarnya dibutuhkan suatu kepedulian etis berkaitan dengan peran serta manusia dalam mencegah terjadinya kepunahan tumbuhan sebagai akar kepunahan makhluk hidup. Manusia sebagai subjek utama sejauh ini telah mengeksploitasi kegunaan potensial sebagian kecil dari 290.000 spesies tumbuhan yang telah diketahui, termasuk diantaranya 5000 spesies tumbuhan yang telah dipelajari sebagai sumber potensial obat-obatan.
Merupakan fakta umum bahwa wilayah hutan tropis merupakan gudang terbesar keberadaan tumbuhan dengan potensi medis yang dapat punah sebelum disadari keberadaannya.
Permasalahan utama di sini ialah bahwa selama beberapa dekade, aktivitas manusia berupa pembangunan dan exploitasi produk alam berjalan sangat ‘liar’ tanpa memperhitungkan daya regenerasi yang lambat dari hutan dan proses yang mendukung keberadaan spesies makhluk hidup di dalamnya.
Eksploitasi berlebihan yang dilakukan terhadap tumbuhan hitan sebagian besar dilandasi alasan ekonomi. Nilai ekonomi sumber daya hayati merupakan sumber daya strategis dalam produksi berbagai bentuk bahan bermanfaat ‘bagi manusia’. Saat ini, upaya peningkatan nilai fantastis dari pemanfaatan sumber daya tumbuhan cenderung diarahkan pada wilayah hutan.
Untuk skala negara, dibutuhkan devisa untuk menjalankan roda pembangunan. Ketika kondisi industri suatu negara belum mapan dan kuat, maka yang bisa diekspor untuk menambah devisa adalah kayu, produk utama hutan tropis. Tentu saja hal ini dapat berlangsung hingga sumber produksi kayu di hutan menipis bahkan punah mengingat modal dan keahlian yang dibutuhkan untuk menebang pohon relatif kecil dan sederhana.
Mengapa hutan menjadi perhatian utama konservasi sumber daya alam? Suatu alasan etis perlunya perhatian lebih pada spesies tumbuhan dan hutan adalah bahwa kehidupan sebagian besar organisme di bumi bergantung pada keberadaan tumbuhan. Selain itu, hutan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan pola perubahan iklim dan cuaca global.
Para peneliti memperkirakan bahwa kehancuran habitat di hutan hujan dan ekosistem lainnya telah mendorong kepunahan ratusan spesies hewan dan makhluk hidup lain setiap tahunnya. Perkiraan ini mungkin akan menjadi alasan yang mendukung teori kepunahan masal global mendatang setelah periode Perm dan Kretaseus lalu. Peningkatan laju kehilangan wilayah hutan hujan dapat mengubah sejarah evolusi tumbuhan darat dan lebih banyak organisme lain untuk selamanya.
Upaya menjaga keberlangsungan organisme sesungguhnya tidak mandek. Perhatian pada masalah lingkungan dan kelestariannya telah dilakukan oleh berbagai organisasi. Namun menurut Sheil et al (2004) segala bentuk informasi yang diperoleh oleh lembaga–lembaga konservasi tersebut tidak memberikan dampak berarti bagi upaya konservasi, karena sebagian besar keputusan berkaitan dengan masalah biodiversitas mencerminkan bahwa kepentingan lain masih mendapat prioritas.
Masalah keanekaragaman tumbuhan tidak hanya berhubungan dengan ancaman kepunahan spesies yang mengandalkan hidup pada hutan, namun juga berhubungan dengan pengaruhnya pada kehidupan manusia. Ketika area hutan yang hilang semakin luas, maka akibat yang ditimbulkan bukan lagi lokal, melainkan mencapai skala regional bahkan internasional sehingga dibutuhkan upaya khusus untuk menyingkapnya.
Dalam mengatasi masalah ini, selain terdapat kontrol yang diberikan oleh lembaga konservasi serta regulasi yang berpihak pada keberlangsungan lingkungan, terdapat pula program–program yang dicanangkan secara global untuk mengatasi laju peningkatan kerusakan hutan dan penurunan keanekaragaman organisme, misalnya REDD+ sebagai mekanisme menjanjikan dalam memperlambat perubahan iklim antropogenik.
Dalam mengoptimalkan upaya konservasi keanekaragaman tumbuhan, salah satu upaya menekan eksploitasi berlebihan ialah kebijakan lokal(local wisdom). Kebijakan lokal berpotensi menyediakan informasi berharga untuk memahami nilai ekologi hutan. Perlu diperhatikan bahwa nilai – nilai lokal tidak terpisahkan dari ekologi dan vegetasi lokal sehingga dapat dijadikan panduan dalam mempelajari keanekaragam, serta mendukung dalam upaya konservasi sumber daya hutan.
Hal ini diperlukan agar terjadi sinkronasi kebijakan yang diambil dengan pemerataan keadilan antara upaya menjaga kelestarian keanekaragaman dengan pemenuhan segala bentuk kebutuhan lainnya. Tentu saja hal ini harus terlepas dari usaha mencari keuntungan sendiri atau latar belakang kebutuhan lain yang tersembunyi. (*)
* Mahasiswi program doktor Fakultas Biologi UGM, peneliti Fisiologi Tumbuhan, dan Blogger Domain UGM.