Pria dengan tinggi semampai, berkulit gelap, dan berambut ikal ini tampak sibuk menyapu ruang utama Vihara Pubbaratana, rumah ibadah milik umat Buddha di wilayah Kelurahan Belo, Kota Kupang. Mengenakan kaos oblong putih plus celana pendek jeans, sosok ini tampak ramah ketika saya sebagai Jurnalis Warga menemuinya di suatu petang, penghujung April 2023.
Ya, sosok dengan nama lengkap Musa Lespian yang saya temui ini merupakan penjaga Vihara Pubbaratana di Belo. Hidup jauh dari orang tua dan sanak keluarga memaksa Musa berjuang keras demi menata hidupnya.
Bermula dari seorang pekerja bangunan, Musa akhirnya memantakan pilihannya ketika ia ditawari untuk bekerja sebagai penjaga rumah ibadah umat Buddha di Kota Kupang itu.
Musa Laspian merupakan sosok anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang lahir di Malaysia, 10 Oktober 2003 silam. Musa dilahirkan ibunya yang ikut bersama sang ayah merantau ke Malaysia sebagai TKI.
Pada usia lima tahun, Musa dikirim pulang ke tanah Timor, Nusa Tenggara Timur. Musa mengaku tak tahu apa pertimbangan kedua orang tuanya mengirim kembalinya ke Timor, namun di usianya yang ke-19 tahun, Musa memutuskan bekerja demi mempertahankan hidupnya.
Sebelum terjun paksa ke dunia kerja, Musa merupakan siswa SMA Negeri 1 Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Ketiadaan biaya memaksanya putus sekolah di tengah jalan. Praktis Musa hanyalah tamatan SMP. Karena itu, ia terjun mengikuti paman atau omnya menjadi buruh bangunan.
Dari pekerjaan buruh bangunan ini, Musa bersama sang paman menerima orderan memasang paving block di halaman Vihara itu.
Pengelola vihara yang melihat keuletan Musa mencoba menawarkan kesempatan kerja kepada Musa. Tanpa pikir panjang, Musa menerima tawaran tersebut, sehingga sejak Januari 2022, Musa menjadi bagian dari sosok yang ikut menjaga dan merawat vihara tersebut.
Sebagai seorang Nasrani, Musa menerima pekerjaan itu sebagai sebuah kesempatan dari Tuhan buatnya. Karena itu, Musa berusaha bekerja dengan sebaik mungkin, menjaga rumah ibadah itu dan membersihkan ruangan-ruangannya agar tak mengganggu umat Buddha saat beribadah. Ketika tiba hari Minggu, Musa meminta izin untuk pergi mengikuti kebaktian sebagai bagian dari jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) di Belo.
Pria yang pernah tinggal di Bena, Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) ini mengaku punya seorang adik yang juga lahir di Malaysia, namun ia tak mengenal sang adik karena lama berpisah.
Tak cuma itu, Musa juga tak tahu lagi apakah orang tuanya masih di Malaysia atau di mana. “Yang terakhir saya dapat informasi, mereka (Orang tua) ada di Kalimantan,” ujarnya.
Dengan pekerjaan yang ditekuni ini, Musa menerima sejumlah upah. Meski upah bekerja sebagai penjaga Vihara tak mencukupi, ia tetap berusaha menyisihkan sebagian pendapatannya itu untuk ditabung.
“Saya baru coba buka rekening bank mau tabung uang. Saya usaha hidup hemat biar uang yang lain bisa ditabung. Saya tabung ini untuk bisa beli sepeda motor dan membeli handphone. Kalau sudah ada handphone, saya mau cari nomor mama saya untuk bisa telepon,” kata Musa lirih.
Sebagai anak yang terpisah ada orang tua kandungnya sejak lima tahun, pahit getir sudah ia rasakan. Dari hidup tinggal dengan keluarga, bahkan tinggal dengan orang. Musa mengingat masa-masa kecil, remaja hingga beranjak dewasa, baginya bukanlah masa yang mengenakan. Terkadang ia harus menerima pukulan, amarah, namun ia tetap menyimpan hal itu sebagai ujian hidup.
Anak dari Abraham Lalian dan Yusmina Beti ini juga mengaku kalau ia selalu mengingat kedua orang tuanya, hanya masih sulit untuk dijangkau karena berada di tanah rantau. Sudah begitu, nomor kontak orang tuanya pun belum dia peroleh. “Saya selalu ingat orang tua, terutama mama saya. Kadang saya menangis sendiri kalau sudah ingat mama,” ungkap Musa sambil tertunduk.
Karena itu, lanjut Musa ia berusaha bekerja dengan baik agar tetap dipercaya pengelola vihara sehingga niat membeli ponsel dan sepeda motor bisa diwujudkan.
Musa sebenarnya punya cita-cita ingin kuliah, tapi apa daya, kemampuannya terbatas. “Saya hanya tamatan SMP, jadi tidak bisa melanjutkan kuliah. Ditambah gaji mungkin tidak akan bisa membayar. Saya juga tidak tahu bagaimana untuk mendapat beasiswa,” katanya sambil tersenyum. (Theresa Tapung)