Kupang – Pengamat Tambang dan Energi, Ferdy Hasiman menyebutkan penerbitan Surat Keputusan (SK) Penetapan Lokasi (Penlok) Tahap II untuk Pengembangan Proyek PLTP Poco Leok patut diapresiasi.
“Ini langkah yang sangat berani di tengah masih adanya penolakan dari beberapa elemen masyarakat terkait pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Poco Leok. Jika Pemkab tak berani mengambil kebijakan, tentu yang dikorbankan masa depan kelistrikan di Manggarai Raya dan daratan Flores yang terlalu bergantung penuh pada Bahan Bakar Minyak (BBM) dan batubara dari luar Flores,” ujar lewat keterangan tertulis, Sabtu (4/1/2025).
Faktanya, kata Ferdy, produksi minyak nasional sampai penghujung tahun 2024 terus turun ke angka 610.000 barel per hari, sementara kebutuhan nasional untuk konsumsi, listrik, transportasi publik (laut, udara dan darat, termasuk bensin dan solar untuk kendaraan) mencapai 1,5 juta barel per hari. Artinya, negara harus mengimpor minyak sampai 50 persen per hari untuk memenuhi kebutuhan domestik. Ini pukulan berat juga untuk APBN kita karena terus menderita defisit neraca perdagangan dengan penyumbang terbesar dari sektor migas.
“Hampir 50 persen defisit APBN disumbang dari impor migas. Maka, perlu terobosan-terobosan berani dari pemerintah pusat, PLN, Pertamina yang dibantu Pemda untuk menyelamatkan APBN agar bisa membiayai pembangunan bangsa ini. Jika tak dilakukan kerja bersama, APBN terus terpukul dan ujung-ujungnya rakyat menderita,” tambah Ferdy.
Karena itu lanjut Ferdy, harus ada kesadaran bersama dari berbagai elemen masyarakat di Manggarai Raya bahwa pengembangan geothermal Poco Leok adalah bagian untuk menyelamatkan APBN dan menyelamatkan energi nasional ke depan.
Sampai saat ini, kata Ferdy, belum ada fakta bahwa wilayah-wilayah NTT tak memiliki lapangan minyak. Kilang Migas, seperti kilang Dumai, Minas, Duri dan Cilacap jauh dari Flores dan NTT.
Kilang-kilang yang memroduksi BBM ini jaraknya sangat jauh dari Flores dan butuh biaya angkut besar untuk mendatangkan BBM ke Flores melalui Pelabuhan Reok di Manggarai.
Jarak yang jauh tentu akan berakumulasi pada perhitungan biaya sewa listrik ke pelanggan. Maka kata dia, untuk menyamakan harga di Jawa dan Flores, pemerintah harus mengeluarkan dana subsidi listrik. Padahal, dana subsidi ini bisa dialokasi pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terisolir di Manggarai Raya.
“Butuh biaya angkutan laut yang memakan dana besar bagi PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik Flores yang nota bene 80 persen dari BBM. Atas dasar itu, saya perlu mengapresiasi langkah Pemkab Manggarai yang telah menerbitkan SK Penlok II untuk pengembangan PLTP 5 dan 6 di Pocoleok. Masyarakat pemilik tanah, saya mendengar ada 17 pemilik lahan telah menerima ganti rugi lahan dengan total Rp3,2 miliar. Itu tentu penilaiannya sudah sesuai prosedur,” kata Ferdy.
Ia menambahkan, keputusan Pemkab terkait Penlok II ini juga sangat penting agar proyek geothermal Poco Leok segera didorong pada tahun 2025 atau tahun 2026. Keputusan ini juga sangat penting sebagai bagian untuk menyelamatkan energi nasional.
Ke depan, kata dia, Indonesia tak bisa terus-menerus mengandalkan BBM, karena impor tinggi dan batubara yang tinggi karbon yang berujung pada kerusakan lingkungan. Energi transisi, seperti PLTP adalah andalan karena lebih ramah lingkungan dan jangka panjang.
Hanya saya kata dia, perlu mengingatkan manajemen PLN untuk tetap bersama masyarakat Pocoleok untuk pengembangan dan pemberdayaan ekonomi wilayah melalui profit sharing ke semua gendang di Pocoleok, tanpa kecuali.
Dia menambahkan, warga yang protes dan elemen masyarakat sipil yang protes juga harus didengar. Mereka perlu diundang untuk duduk bersama Pemkab dan PLN untuk menyusun strategi pembangunan di Poco Leok, ketika proses pembangunan berjalan dan setelah pengembangan PLTP beroperasi komersial.
Hal-hal strategis perlu untuk duduk bersama agar proyek PLTP Pocoleok menguntungkan semua pihak, baik PLN sebagai pengembangan, Pemkab maupun masyarakat Pocoleok sebagai pemilik hak ulayat. (*/gma)