Ke Mana Arah Pendidikan Kita?

  • Whatsapp
Foto: Yahya Ado

Oleh: Yahya Ado*

ADA dua alasan mengapa Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat (VBL) mengambil kebijakan mendadak soal sekolah jam 5 pagi.

Pertama untuk mendongkrak kualitas pendidikan dan kedua membangun karakter baik bagi anak-anak. Keduanya punya satu tujuan, untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM).

Di sana terselip pula mimpi, setidaknya ada dua sekolah SMA (Sekolah Menengah Atas) di NTT (Nusa Tenggara Timur) harus masuk 200 deretan sekolah unggul nasional. Anak-anak NTT juga diharapkan bisa masuk kuliah di kampus-kampus ternama di Indonesia dan bahkan di luar negeri. Ini hasrat besarnya gubernur NTT tanpa ada pertimbangan landasan hukum dan kajian ilmiah. Boleh jadi semua kebenaran berlandaskan pada pengalaman pribadi beliau. Tidak ada ruang partisipasi bagi anak, guru, dan orang tua untuk memberi suara soal ini.

Banyak orang membeo atas satu komando atasan, terutama Kepala Dinas Pendidikan NTT dan Para Kepala Sekolah SMA/SMK. Di sisi yang lain, pemerintah pusat mengeluarkan sistem zonasi bagi SMA untuk pemerataan siswa di sekitar sekolah. Sekaligus menghindari ada sekolah favorite dan sekolah non favorite. Atau mengutip bahasa gubernur sekolah unggul.

Rasa-rasanya bukan zaman lagi bicara sekolah terbaik. Semua harus disiapkan dengan baik dan menjadi lebih baik, bahkan harus terbaik. Karena jelas amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Pun mandat dunia melalui SDGs (Sustainability Development Goals) point 4: Quality Education for all, dengan prinsip No one left behind. Negara wajib menjamin pendidikan berkualitas tanpa diskriminasi bagi seluruh Anak Indonesia, termasuk di NTT.

Terlalu banyak keterikatan untuk berbicara soal kualitas pendidikan. Coba lebih jelih melihat ke dalam sekolah. Mulai dari perangkat belajar sampai ke proses belajar, dan hasil belajar. Guru terlihat begitu sibuk dengan segala perangkat ajar, lalu lupa bagaimana belajar. Mindset guru, belajar tentang apa yang dia siap ajarkan, padahal belajar yang baik adalah bagaimana belajar, bukan tentang apa yang dipelajari. Untuk itu kita butuh guru yang menginspirasi. Yang memberi ruang bagi anak untuk memiliki growth mindset (berpikir tumbuh), dan bukan fixed mindset (berpikir tetap).

Kerangka Logis

Menyimak Howard Gardner dalam Frame of Minds (1983) mengungkapkan, setidaknya ada delapan kecerdasan majemuk (multiple inelegancies) bagi seorang anak untuk berkembang. Setiap anak memiliki ketertarikan yang unik dan berbeda-beda. Ada yang memiliki kecerdasan bahasa, matematika, visual-spasial yang lebih tinggi karena mereka lebih dominan menggunakan belahan otak bagian kiri. Sedang ada anak yang lebih tertarik pada musik, intra-personal, inter-personal, naturalis, kinestetik, dan eksistensional karena lebih dominan kerja di belahan otak bagian kanan.

Meski begitu, kedua belahan ini selalu terhubung dan bekerjasama untuk mendukung kecerdasan anak. Tetapi itu perlu dilatih, dan dibiasakan agar kita bisa menemukan bakat seorang anak dengan tepat. Sebab kita tidak bisa memaksa seorang anak dengan dominan otak kanan terlalu lama duduk di ruang kelas, karena otaknya bekerja lebih bebas dan lebih senang di luar ruang kelas.

Cara belajar kita harus bisa menstimulasi dan membuat kedua belahan otak ini bekerja maksimal. Sehingga memberi standar baku yang sama untuk semua anak dengan potensi berbeda sangatlah riskan. Sebab kita tidak akan bisa memaksa ikan memanjat pohon yang tinggi.

Maka itu, dua alasan kualitas pendidikan dan menanam karakter dengan kebijakan sekolah jam 5 sama sekali bukan jalan terang. Bisa jadi menjadi jalan buntu bagi dunia pendidikan kita. Dan bahkan menjadi benang kusut baru yang merusak wajah pendidikan yang kian terpuruk. Mari sejenak kita tengok ke negara-negara yang maju pendidikannya.

Di Swedia misalnya, sebagai negera dengan sistem pendidikan terbaik no satu di dunia, sekolah mereka dimulai pada pukul 08.00 pagi. Begitu juga Jerman dan Inggris. Rata-rata di atas jam 7 pagi. Sebab tujuan utama pendidikan adalah kebahagian belajar bagi anak. Jika mereka tidak mendapat kebahagiaan, maka anak kita boleh jadi hanyalah ke sekolah, tetapi sesungguhnya mereka tidak belajar.

Membangun Karakter Dasar

Analogi yang dipakai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi, bahwa Anak (muda) jangan sampai kalah dengan penjual sayur di pasar yang bangun lebih pagi.

Filosofi bangun sebelum ayam bangun adalah baik untuk sebuah falsafah hidup. Tetapi dalam banyak kajian sangat berdampak buruk bagi masa depan dan kesehatan anak-anak. Apalagi fase pendidikan kita tidak mulai dari bangku sekolah. Karakter dasar itu dibangun sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Maka sekolah pertama bagi anak adalah ibu (dan guru pertama adalah ayah).

Sementara ruang kelas pertama bagi seorang anak adalah di sekitar meja makan keluarga. Ini terjadi sepanjang hidup. Maka pendidikan berkualitas tidak bisa melepas tanggungjawab rumah dan lingkungan. Sebab kebiasaan-kebiasaan di rumah dan di lingkungan, akan sangat berpengaruh saat anak-anak di sekolah. Begitu pula sebaliknya.

Bicara karakter adalah bicara kecerdasan dan bakat anak. Sepintar apapun orang di sisi akademik, jika tidak dibarengi dengan karakter baik, maka sia-sialah seluruh hidupnya. Maka dasar pendidikan karakter seorang anak harus dimulai dari usia 0 sampai 6 tahun saat ia di keluarga dan duduk di bangku PAUD/TK.

Penelitian menyebut 80 persen otak anak berkembang di usia emas ini (golden ages). Jika pendidikan di tingkat ini benar, maka cerita masa depannya akan benar. Sebab ketika kita merubah awal hidup seorang anak, kita merubah seluruh hidupnya. Maka sangat terlambat kalau karakter ditanam di masa remaja, meski karakter itu berkembang dan bisa berubah-ubah.

Amburadulnya pendidikan kita selalu dimulai dari pro-kontra kebijakan pemerintah. Lalu pemberlakuan kurikulum yang gonta ganti. Dahulu kita mengenal CBSA dan KTSP, lalu ke Kurikulum 2013, dan sekarang Merdeka Belajar. Padahal pendidikan terbaik di masa depan harus mulai dirancang hari ini secara serius dan berkelanjutan.

Dunia sedang mengarah ke sistem pendidikan revolusioner abad 21. Kita sedang menghadapi tantangan perubahan yang sangat besar. Kita harus memastikan generasi kita lentur dengan perubahan.

Maka itu, arah pendidikan kita harus dimulai dari; daya lenting menghadapi perubahan-perubahan (resilience), kekuatan daya berpikir dengan otak bukan otot, dan bagaimana (cara) belajar, bukan apa yang diajar. Dengan begitu, arah pendidikan kita harus berkiblat ke kurikulum masa depan, bukan pada emosional sesa(a)t para pejabat. (*)

  • Praktisi Pendidikan, Pendiri Sekolah Alam Manusak, Kupang NTT

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment