Jalan-jalan ke Masa Silam Labuan Bajo

  • Whatsapp
Hotel Mewah di Labuan Bajo/Foto: Gamaliel

Labuan Bajo–Menengok masa lalu bukan cuma kerja sejarawan. Semua orang pun bisa menikmatinya melalui jejak-jejak yang tertinggal.

Salah satunya dermaga feri di pesisir Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ternyata lokasi ini pernah menjadi tempat berlabuh para nelayan asal Bajo, Sulawesi Selatan.

Read More

Mereka melakukan barter ikan dengan hasil bumi penduduk setempat.  Karena sering dijadikan tempat labuan, lama-lama sebutan lokasi ini berkembang menjadi ‘labuan bajo’.

Truk Mengangkut Pisang untuk Dipasarkan ke Surabaya, Jawa Timur di Pelabuhan Labuan Bajo/Foto: Gamaliel
Truk Mengangkut Pisang untuk Dipasarkan ke Surabaya, Jawa Timur di Pelabuhan Labuan Bajo/Foto: Gamaliel

Orang Bajo pun tidak hanya berdagang, tetapi mereka juga memilih tinggal di sepanjang pesisir pantai.

Hingga kini tidak hanya pesisir, wilayah dalam radius sekitar tiga kilometer ke pegunungan pun bernama labuan bajo.

Camat Komodo Abdullah Nur memperkirakan pelaut Bajo tiba daerah di bagian barat Pulau Flores ini sekitar abad 16, yaitu ketika masa kekuasaan Kesultanan Bima di Sumbawa dan Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan.

Ketika itu di bagian barat Manggarai sedang berkuasa Raja Naib yang ada dibawah kontrol Kesultanan Bima. Arus pendatang ke daerah ini terus bertambah setelah pecah perang antara Kerajaan Gowa dan Belanda pada abad 17.

Selanjutnya pada 1920-1942 Kesultanan Bima menempatkan satu punggawa atau orang yang bertugas memimpin masyarakat Bajo di Labuan Bajo.

Wisatawan Asing di Wae Cicu, Labuan Bajo/Foto: Gamaliel
Wisatawan Asing di Wae Cicu, Labuan Bajo/Foto: Gamaliel

Setelah kekuasaannya berakhir, penanganan masyarakat Bajo selanjutnya diserahkan kepada Kerajaan Manggarai, lalu diangkatlah seorang punggawa baru bernama Sawedi.

Ia berkuasa hingga 1962 sebelum dibentuk wilayah pemerintahan. Jika berada di pesisir pantai, akan menjumpai jejak-jejak orang Bajo tampak pada bangunan yang menonjolkan nuansa budaya mereka, warung-warung, nama tempat, hingga perahu.

Sebagian besar nelayan di sana masih keturunan Bajo. Di antaranya Sahamad yang bangga akan statusnya sebagai keturunan penguasa labuan dan pulau-pulau sekitarnya, sehingga dalam urusan perkawinan, Sahamad dan orang Bajo lainnya tetap memegang teguh adat mereka.

Seperti adat yang mengharuskan anak perempuan saudara laki-laki menikah dengan anak laki-laki saudarinya. Perkawinan ini bertujuan menjaga keutuhann keturunan sekaligus kewibawaan suku Bajo.

Akan tetapi sejumlah tradisi ternyata sudah hilang tergerus zaman seperti musik tradisional Gendang yang sering mengalun di acara pernikahan, kini tidak dimainkan lagi. Begitu pula tarian dan pencak silat.

Bagi Abdullah, menghidupkan kembali tradisi yang mulai hilang ini, membutuhkan ketekunan. “Hanya ketekunan yang bisa  menghidupkan lagi tradisi ini,” ujarnya. Semoga! (palce amalo/mi)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *