Oleh: Fary Francis*
Pembatalan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 menjadi trending topik dalam satu dua hari ini.
Tidak saja di dalam negeri, tetapi juga menjadi sorotan luar negeri. Ini semacam paradoks terheboh dalam dunia sepak bola. Kita yang meminta menjadi tuan rumah, kita pula yang menolak jadi tuan rumah.
Aturan FIFA dipakai untuk menetapkan Indonesian sebagai tuan rumah Pildun U-20. Namun aturan FIFA ditabrak pula agar salah satu peserta Pildun U-20 tidak boleh bermain di Indonesia. Ini memang aneh, namun keanehan yang nyata.
Tentu pembatalan Indonesia menjadi host Pildun U-20 ini menelan banyak korban. Baik korban material, korban perasaan, korban impian garuda muda kita bahkan hingga korban harga diri.
Momentum sepak bola internasional yang sangat strategis untuk negara ini, kita sia-siakan. Malah terjadi polarisasi dalam diri anak-anak bangsa oleh perbedaan menafsirkan keikutsertaan “Israel” dalam ajang ini.
Dengan mudah orang membaca isi kepala dan isi perut kita, bahwa kita adalah bangsa yang sulit memposisikan sepak bola dan politik di ruang kerjanya masing-masing; bahwa kita adalah nation yang kerap melafalkan ayat-ayat agama dan panji-panji keagamaan untuk mencari pembenaran demi memuluskan kepentingan-kepentingan terselubung.
Namun kita lupa bahwa dengan ketidakramahan kita terhadap tamu peserta Pildun U-20; dengan penolakan kita terhadap salah satu peserta Pildun ini; kita sebenarnya sedang melukis gambar yang buruk tentang diri kita di kanvas dunia internasional.
Dari hasil lukisan itu, negara-negara lain atau lembaga-lembaga dunia yang lain dengan mudah menilai siapa kita dan berpikir ulang apakah kita layak mendapatkan peluang dan momentum internasional lainnya atau tidak.
Soal Nasionalisme
Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI menakar sepak bola sebagai harga diri bangsa. Sepak bola memiliki benang merah yang erat dengan nasionalisme. Bagi bangsa kita, sepak bola adalah instrumen persahabatan dan perdamaian antar bangsa; alat pemersatu bangsa; corong untuk menampilkan reputasi bangsa.
Karena itu, dari sisi diplomasi, sepak bola bukan sekadar permainan di lapangan hijau. Sepak bola justru menjadi ruang dan wahana menumbuhkan nasionalisme anak-anak bangsa; sepak bola adalah harga diri bangsa.
Takarannya adalah semakin sepak bola kita maju dan berkembang, bisa berkompetisi di level internasional, maka harga diri bangsa kita semakin valuable (bernilai). Sebab itu, sepak bola tidak boleh diurus suka-suka. Sepak bola harus ditata dengan benar, diatur secara baik, didukung full demi kualitas harga diri kita.
Prestasi dan prestise kita di dunia olahraga menentukan skala harga diri kita. Di balik reputasi dari event-event internasional olahraga, tersimpan tingkatan harga diri negara kita di hadapan negara lainnya. Harga diri ini akan menjadi aset penting yang akan menentukan level pengaruh kita di pentas dunia. Indonesia satu dua tahun terakhir menjadi ‘bidadari’ bagi dunia internasional.
Setelah sukses mengendalikan pandemic Covid, Indonesia dipercaya dengan berbagai event
penting seperti menjadi tuan rumah alias pemegang status presidensi KTT G20, Kepercayaan tersebut tidak akan jatuh ke Indonesia, jika anggota G20 dan ASEAN tidak yakin dengan kinerja ekonomi Indonesia.
Di kala dunia sedang dihantui resesi global, optimisme justru datang dari timur, dari Indonesia. Gejolak resesi tidak dibikin seperti hantu, namun dikelola dengan taktis.
Itulah mengapa dari aspek ekonomi, Indonesia itu seperti bunga yang sedang bemekaran. Indonesia menjadi salah satu negara “harapan” dunia yang akan ikut menggerakkan roda perekonomian dunia di saat hantu resesi mengintai negara-negara lain, terutama negara-negara maju.
Dengan mendapatkan amanat sebagai tuan rumah Piala Dunia 2023, itu menjadi momentum luar biasa bagi Indonesia. Harga diri bangsa kita benar-benar di level tertinggi. Kita dipercayai, menjadi harapan dan tentu panutan.
Di awal, rakyat merespon hajatan sepak bola ini dengan tempik sorak sorai dan sukacita. Namun menjelang saat-saat puncak, justru campur aduk politik plus agama
dengan sederet narasi kebencian membuyarkan impian dan harapan kolektif itu.
Kepercayaan sebagai tuan rumah tidak kita jaga dan kawal dengan serius. Kita malah melakukan blunder kecil yang dampaknya luar biasa. Drawing batal, status tuan rumah dicabut, mimpi garuda muda buyar. Semua seperti terperangah. Game over!
Peluang Terbuang
Kita kehilangan satu etalase penting yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk menyampaikan pesan siapa diri kita dan apa yang telah kita capai selama ini kepada dunia. Kehilangan kali ini, tidak menutup kemungkinan akan diikuti dengan hilangnya peluang-peluang lainnya di masa depan.
Kehilangan peluang lainnya itu sama seperti mimpi tim garuda muda yang sirna seketika. Entah kapan lagi anak-anak mendapatkan peluang bisa bermain di ajang sepak bola level internasional.
Entah kapan lagi kita dihargai kepercayaan menjadi tuan rumah. Entah kapan. Mungkin nanti, entahlah. Yang jelas, status harga diri kita di hadapan bangsa lain melorot.
Alasan FIFA bahwa kita dinilai tidak bisa memberi keamanan dan kenyamanan bagi peserta Pildun U-20 adalah hal krusial yang bisa menjadi pemicu negara-negara sahabat, lembaga-lembaga internasional untuk berpikir ulang tentang siapa kita dan bagaimana posisi kita saat ini.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir hanya bisa bilang, kita harus tegar. Namun, di rumah kita sendiri masih banyak yang tega, bahkan tega melakukan gol bunuh diri agar anak-anak garuda muda tidak merasakan energi Piala Dunia U-20 di rumahnya sendiri, di hadapan bapak, mama, kakak, adik dan saudara-saudarinya sendiri.
• Ketua Umum Indonesia Football Forever (IFF)