Belajar Makna Demokrasi Dari Antriana dan Dewila

  • Whatsapp
Atriana Faot dan Dewila Faot/Foto: Beny Faofeto

So’e – Tanggal 14 Februari 2024, saya menyempatkan diri merayakan hari kasi sayang (Valentine Day) sembari mengikuti proses pemungutan suara di Desa Tetaf, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Kerena sudah lama tidak berjumpa keluarga dan kerabat. saya pun tidak sungkan meringankan langkah kembali dan berbagi cerita bersama mereka tentang aktivitas yang saya lewati di kupang, tempat saya mengadu nasib di dunia kampus.

Di sana saya bertemu dengan kelurga,kerabat dan sanak saudara.Kami berbincang banyak hal. Sesekali mereka juga menanyakan setiap aktivitas yang saya kerjakan di Kupang.

Karena ini momen politik, saya pikir ini kesempatan emas untuk saya mendengar aspirasi dari mereka,paling tidak alasan mereka harus bercucuran peluh dibawah terik matahari.

Tak terkecuali dua orang teman kecil saya yang di beri karunia berbeda oleh Yang Maha Kuasa mereka melihat dengan batin, merasa dengan kuasa bagaikan filsuf yang berdiam diri.

Dia adalah Atriana Faot dan Dewila Faot, dua orang disabilitas asal Desa Tetaf, salah satu daerah yang ada di pelosok Pulau Timor.

Cukup menarik bagi saya ketika mendengar nama kedua orang ini dipanggail menuju kotak sura,rasanya tidak seeprti biasa,semua orang tiba-tiba mengalihkan pandangan ke belakang menantikan kedatangan mereka.

Sambil ditemani sang ibunda, perlahan-lahan mereka mendekati petugas sambil memegang kertas undangan sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS 12, salah satu dari 12 tempat pemungutan suarat yang ada di Desa Tetaf, Kecamatan Kuatnana.

Momen pemungutan suara tahun ini cukup menyentuh hati kecil saya, saat menyaksikan momen dua gadis mungil itu dipersilakan memasuki ruangan tempat pemungutan suara, situasi saat itu penuh emosional.

Dalam menghadapi moment politik, mereka berdua bak sejoli yang iklas dengan ketidakpastian, jangankan melihat bertemu pun cukup mustahil. Bagi mereka untuk mengenal orang-orang yang harus mereka pilih, sangat realistis tanpa idealis dalam memberi mandat.

“Kita harus pilih, biar bisa lanjutkan pembangun” ucap Dewila, saat membeberkan alasannya memilih.Alasan yang cukup realistis bagi saat mendengar pandapat tersebut.

Tak hanya itu, fondasi yang dibangun dalam menghadapi dinamika politik saat ini pun cukup minimalis. Selain memanfaatkan acara televisi, kedua gadis tunanetra ini berusaha memetik informasi penting terkait partisispasi pemilu di lingkungan sekitar. “Kadang kami dengar dari televisi dan guru-guru di sekolah juga sering cerita di sekolah jadi kami ingat itu,” Jelas Dewina.

Walau alasan tersebut sangat sederhana untuk dua butir suara yang harus mereka beri,namun pemahaman yang di bagun oleh kedua orang ini cukup bernilai edukasi selain keiklasan mereka juga memahmi hak politik mereka memiliki kontribusi untuk pembangunan selanjutnya. (JW/Beny Faofeto)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *