Kupang – Cagar Alam Mutis di wilayah Kabupaten TTS, telah berubah status menjadi Taman Nasional. Perubahan status itu, menyusul terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 946 Tahun 2024 pada 30 Juni 2024.
Perubahan status yang ditandai dengan Deklarasi Taman Mutis Timau, di kawasan Mutis Timau, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Minggu (8/9/2024), itu telah memantik reaksi pro dan kontra. Diskursus itu pun hingga saat ini belum ada solusinya.
Karena itu, sebagai bentuk tanggung jawab mencari solusi atas pro kontra ini, Cagub NTT Nomor Urut 02, Melki Laka Lena, berinisiatif menelpon sahabatnya Menteri Kehutanan di Kabinet Merah Putih, Raja Juli Antoni. Dalam komunikasi via telpon itu, Melki Laka Lena menyapa Menteri Kehutanan sebagai Kaka.
“Selamat pagi kaka Menteri. Ijin Kaka Menteri, ini terkait pro kontra Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional, ini agak ramai dan serius di sini (NTT), maka kalau boleh keputusan kota dari pusat bisa kita dialogkan lagi dengan semua pihak biar semua bisa puas,” kata Melki dalam percakapannya dengan Menteri Raja Juli Antoni.
Menteri Kehutanan pun menjawab permintaan Melki Laka Lena dengan jawaban yang melegakan. “Baik Pak Gubernur (Melki), saya baru saja masuk kantor dan saya akan pelajari kembali perubahan status Cagar Alam Mutis ini, terutama apa saja pertimbangannya. Kalau memang merugikan rakyat, ya kita akan diskusikan lagi. Ini juga sesuai pesan Pa Presiden Prabowo yang sangat konsen ke hal-hal yang berorientasi pada rakyat. Nanti kita diskusikan untuk mencari solusi terbaik. Salam rakyat NTT,” begitu jawaban Menteri Kehutanan.
Dikutip dari laman Liputan6.com, Kawasan Cagar Alam Mutis Timau di Nusa Tenggara Timur (NTT) berubah status menjadi Taman Nasional.
Taman nasional ini menjadi taman nasional ke-56 di Indonesia melalui Keputusan Menteri LHK Nomor 96 Tahun 2024 tentang perubahan fungsi pokok Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional.
Deklarasi Taman Nasional Mutis Timau telah dilakukan pada Minggu 8 September 2024 lalu oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya secara virtual.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Satyawan Pudyatmoko hadir langsung di Mutis didampingi Kepala BKSDA NTT Arief Mahmud, Penjabat Bupati TTS, Seperius Sipa serta perwakilan dari Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Kupang hingga penjabat di Kementerian LHK.
Setyawan menyebut perubahan status itu sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 946 Tahun 2024 tentang Perubahan Fungsi Dalam Fungsi Pokok Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional dan Perubahan Fungsi Antar Fungsi Pokok Kawasan Hutan Lindung Mutis menjadi Taman Nasional di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timur Tengah Selatan, dan Kabupaten Timur Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas 78.789 hektar.
Menurut dia, Taman Nasional Mutis Timau merupakan kawasan yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang unik. Keunikannya yakni keberadaan hutan pegunungan yang didominasi oleh Eucalyptus urophylla (Ampupu).
Ampupu merupakan jenis tumbuhan endemik Indonesia yang penyebaran alaminya berada di NTT. Ampupu adalah tumbuhan yang memiliki kandungan minyak atsiri yang berkhasiat sebagai anti bakteri, anti virus, anti inflamasi, analgesik, anti infeksi, insektisida dan ekspektorat.
Selain itu, Taman Nasional Mutis Timau juga merupakan habitat bagi 88 spesies burung yang 8 diantaranya merupakan burung dilindungi, 8 spesies mamalia di antaranya adalah Rusa Timor yang termasuk spesies dilindungi, juga terdapat 13 spesies herpetofauna dengan 2 diantaranya merupakan jenis dilindungi.
Masyarakat Adat Tolak
Gelombang penolakan terhadap perubahan Cagar Alam Mutis menjadi Tamana Nasional pun merebak. Pertama dari Masyarakat Adat Desa Noepesu dan Fatuneno.
Karena itu, masyarakat adat Desa Noepesu dan Fatuneno di Kecamatan Miomaffo Barat Kabupaten TTU, menggelar ritual adat sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan status Gunung Mutis dari cagar alam menjadi taman nasional.
Mereka menganggap Gunung Mutis sebagai rumah mereka. Karena bagi masyarakat gunung tersebut sakral dan peradapan bagi mereka sehingga tidak perlu dirubah statusnya.
Ketua Lembaga Adat Desa Noepesu, Lukas Tefa, yang juga berperan sebagai penjaga sumber air di Gunung Mutis, menegaskan harapannya agar segala bentuk pelabelan nama pada gunung tersebut dicabut kembali oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Menurut dia, perubahan status ini dapat mengancam keberlangsungan ekosistem dan tradisi budaya masyarakat setempat.
Ritual adat ini berlangsung di dua lokasi, yaitu di Teto Asin Desa Noepesu dan Eno Nuat, pintu masuk Gunung Mutis, Rabu 30 Oktober 2024.
Pada dua lokasi tersebut masyarakat berkumpul untuk memperkuat ikatan spiritual dan mengungkapkan kecintaan mereka terhadap tanah leluhur.
Penolakan ini merupakan bentuk perjuangan masyarakat untuk mempertahankan warisan budaya dan lingkungan mereka agar tidak dirusak oleh pihak lain pasca perubahan status pada wilayah Mutis,” tegas Lukas. (jdz)