Festival ‘Henge Rai Hawu’ di Sabu Suguhkan Berbagai Pertunjukkan Menarik

  • Whatsapp
Pertunjukan peluru Hawu (Silat sabu) dan Kima/dok

Kupang – Festival Henge Rai Hawu yang digelar di Pantai Tebbi Rae Mea, Desa Loborai, Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua menyuguhkan berbagai pertunjukan menarik.

Festival dibuka Bupati Sabu Raijua Nikodemus N. Rihi Heke, berlangsung dari 26-29 Agustus 2024 ini bertujuan untuk melestarikan kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang orang Sabu.

Dalam sambutannya Nikodemus menyampaikan harapannya agar semua desa di Sabu Raijua melakukan kegiatan yang sama. “Saya berharap agar bukan hanya desa Loborai saja yang melaksanakan kegiatan seperti ini namun mendorong semua desa untuk ikut menjaga budaya, mari kita mendorong perkembangan pariwisata Sabu Raijua,” ujarnya saat menyampaikan sambutan pada hari pertama festival tersebut.

Festival Henge Rai Hawu ini dihadiri oleh berbagai kalangan, masyarakat desa setempat, desa tetangga, serta pegawai dari pemerintah kabupaten.

Frida Kadja, salah satu warga yang datang bersama keluarganya mengatakan ia menyambut baik kegiatan seperti ini. “Kami menyambut baik kegiatan ini karena masyarakat sabu Raijua kami sangat kekurangan dalam hal hiburan. Disamping edukasi yang ditampilkan bagi generasi muda, Festival Henge Rai Hawu juga menjadi suatu hiburan bagi kami orang tua dan keluarga sehingga kami sangat antusias mengikuti festival ini,” kata Frida kepada lintasntt.com yang diwawancarai secara daring.

Wanita berusia 49 tahun ini menambahkan ia senang karena pemerintah melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ini.

“Kami senang dan antusias karena dalam persiapan festival masyarakat dilibatkan dalam mencari dan menentukkan apa saja yang perlu ditampilkan, sehingga kami berusaha menggali informasi apa saja kebiasaan nenek moyang orang sabu mulai dari kebiasaannya mencari makan, bersosialisasi dan mencari hiburan serta bermain. Zaman dulu itu dari nenek moyang itu apa makanan khas mereka, kebiasaan mereka bepergian ke kupang atau pulau lain dengan perahu layar yang memakan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan,” jelas Frida.

Frida yang juga warga Desa Loborai berharap kegiatan ini dapat memberikan wawasan bagi anak muda sehingga mereka bisa lebih menghargai budaya yang diwariskan oleh leluhur. Selain itu ia berharap pemerintah akan terus melakukan kegiatan seperti ini setiap tahunnya.

“Dengan adanya Festival Henge Rai Hawu ini, masyarakat terutama anak muda sekarang bisa mengenal budaya yang diwariskan oleh leluhur. Karena sudah banyak perbedaan antara kehidupan sekarang dan dulu. Misalnya, sekarang jika ingin ke Kupang hanya perlu memakan waktu kurang lebih 12 jam saja sedangkan dulu menghabiskan waktu berhari-hari untuk tiba di Kupang.

“Kami sangat berharap pemerintah desa tidak cukup hanya tahun ini saja melaksanakan kegiatan ini, tahun-tahun depan juga melakukan kegiatan seperti ini dan meramu kegiatan yang lebih banyak dan bervariasi serta kalau bisa melibatkan lebih banyak orang dan mengundang orang dari luar daerah dan luar desa. Promosinya lebih lama, juga kegiatannya dilaksanakan dibulan liburan sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang berpartisipasi belajar budaya kita serta melestarikannya,” tandasnya

Perahu Layar Hingga Panen Garam

Festival Henge Rai Hawu menyuguhkan berbagai pertunjukkan yang berhubungan dengan kebiasaan nenek moyang atau orang tua masyarakat Pulau Sabu jaman dulu. Adapun pertunjukkannya diantaranya :

Pertunjukkan perahu layar yang mengisahkan nenek moyang atau masyarakat di Sabu dulu sering bepergian atau merantau menggunakan perahu layar, ke luar ke Ende, Sumba, Kupang dan beberapa pulau lain.

Pertunjuntukan panen garam yang wadahnya berasal dari kulit kima. Nenek moyang Sabu Raijua memanfaatkan kulit kima untuk menaruh air laut di dalamnya, lalu dijemur dibawah sinar mata hari dan beberapa hari kemudian air laut yang sudah berubah menjadi garam, dipanen dan dipakai sebagai garam untuk kebutuhan rumah tangga.

Selain itu ada juga penampilan Menan’nu (menenun). Pertunjukan ini memperlihatkan orang yang sedang menenun kain dan mempersiapkan benang yang akan digunakan.

Ada juga ritual seperti Ped’oa (Tarian Sabu), Pe iu manu (Taji ayam), Peluru hawu (Silat sabu), Pedog’go Aru. Selain itu, juga ditampilkan kebiasaan permainan dulu seperti Petuku Wo Maka (Gasing kayu), Pe Gili Wo Kepui (Gasing cangkang keong), Kelet’ti Dahi (Panah Ikan) karena orang tua atau nenek moyang dulu mencari ikan dengan memanah ikan.

Menampilkan juga kegiatan membuat dan memamerkan anyaman yang digunakan oleh orang tua dulu untuk menyimpan makanan atau bekal.

Makanan Khas

Ada juga penampilan membuat makanan khas pulau Sabu seperti Hogo Putu (memasak kue Putu), Membuat Wo Perag’gu, Membuat Wolappa,  makanan-makanan tersebut sering dibawa orang tua dulu, sebagai bekal saat berpergian ke Pulau lain menggunakan perahu layar. Bahkan saat ini makanan tersebut sudah menjadi oleh-oleh yang wajib dibawa setiap akan berpergian baik oleh masyarakat pulau sabu maupun orang yang datang berkunjung.

Pada saat acara ini berlangsung UMKM masyarakat juga hadir, mereka menjual berbagai kuliner khas sabu dan makanan yang diolah dengan daging ikan dan daging ayam, makan cemilan anak-anak, Ada yang menjual tuak (nira lontar), gula sabu, asesoris, tenunan dan berbagai anyaman. (Marni Labu Ipi)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *