Guru di Amfoang Utara Kesulitan Buku dan Akses Transportasi

  • Whatsapp
Kondisi Ruas Jalan Menuju Amfoang/Foto: Dok Pribadi

Kupamg – Bagi Devidson Naioes, guru SMA Negeri 1 Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, ada empat persoalan yang selama bertahun-tahun dialami masyarakat yang bermukim di wilayah terpencil.

Persoalan itu ialah keterbatasan akses terhadap transportasi, komunikasi, listrik, dan tersedianya buku untuk siswa. “Sekolah kami berjarak 100 meter dari tower telepon seluler tetapi untuk menelepon saja, sangat sulit, apalagi masyarakat yang tinggal jauh dari tower telepon seluler,” katanya, Selasa (24/11).

Read More

Dengan kondisi seperti itu, bisa dibayangkan sangat sulit mengetahui perkembangan yang terjadi di kota. Ditambah listrik PLN yang hanya menyala pada malam hari, pengoperasian sarana pendidikan yang menggunakan tenaga listrik seperti komputer atau laptop jarang, apalagi belajar online seperti di masa pandemi saat ini.

Pun membuka internet untuk mengakses buku-buku pada pelajaran. Mereka baru bisa mengakses internet dengan baik saat datang ke kota kabupaten atau provinsi. Apalagi kepemilikan ponsel android untuk dipakai belajar online masih dihitung dengan jari. Itu dialami Devidson sejak ia diangkat menjadi guru mata pelajaran Geografi di sekolah tersebut pada 2010.

Selama 10 tahun, ia terbiasa hidup tanpa listrik di siang hari dan keterbatasan komunikasi. Namun, Dia masih beruntung karena punya sepeda motor sehingga bisa kapan saja bisa datang ke kota di akhir pekan.

Tetapi belum tentu untuk siswa. Tidak ada transportasi umum di wilayah yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Kota Kupang tersebut. Untuk bisa datang ke sekolah, ditempuh siswa dengan berjalan kaki. “Ada beberapa siswa tinggal 10 kilometer dari sekolah, setiap hari pergi pulang dengan berjalan kaki,” kata Dia.

Kondisi itu diperparah di masa pandemi. Selain tidak ada belajar online, belajar di rumah dengan jumlah siswa terbatas pun tidak ada. Penyebabnya menurut Dia, siswa tinggal berjauhan. Selain itu, anak-anak yang tinggal di desa, tidak akan berada di rumah saat seperti ini. “Mereka akan ikut orang tua ke kebun dan baru pulang sore hari,” ujarnya.

Untuk itu, Devidson bersama 20an guru di sekolah yang tak jauh dari perbatasan RI-Timor Leste itu mengirim tugas kepada siswa lewat warga atau siswa lainnya. Nanti, untuk mengumpulkan tugas mereka boleh datang ke rumah guru. “Atau kami meminta orang untuk menyampaikan kepada siswa supaya datang ke rumah guru mengumpulkan tugas,” katanya. (gma/mi)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *